We will never know how the world
is, until we touch it with our whole. Not only our ratio
Dunia
dengan segala ke “ada” annya. Yang mengharuskan ribuan konsepsi tentangnya.
Kita
tak akan pernah tahu mana yang menyerupai atau setidaknya hanya mewakili.
Karena
manusia memang dikaruniai dengan keterbatasan itu sendiri.
Dengan
keterbatasan itulah manusia mencapai kesempurnaan essensinya.
Tidaklah
hina hanya untuk sekedar menengok pada kemungkinan yang lain.
Walau
kepala kita kadang tertunduk malu jika sejenak harus mengedepankan intuisi.
Kita
telah lama dibutakan oleh hal yang banyak disepakati.
Rasio
bukanlah satu-satunya pintu menuju kebenaran.
Benarkah
begitu ? Tanyakan saja pada yang bertanggung jawab atas semua ini.
Rasio
yang kehadirannya telah disalahartikan, kehadirannya hanya untuk memperkaya
khazanah cara berpikir. Hanya untuk mengisi fungsi tertentu dalam pemecahan
masalah.
Rasio
dengan segala kegagahannya yang gemilang. Menggelapkan banyak mata, hingga
akhirnya dia ditarik dari tempatnya seharusnya berada munuju sebuah arena “Maha
Benar” dalam segala aspek ke “ada”an.
Rasio
pun kini menjadi makin sombong dengan arogansinya yang mengalir dalam tiap
maknanya. Rasio bagai jawaban segala fenomena, dia dinisbatkan dalam singgasana
tertinggi verifikasi. Hanya melalui singasana tertinggi inilah sebuah kebenaran
dapat diakui.
Sungguh
malang nasibmu wahai “kenyataan”. Keelokanmu yang menawan dan tanpa batas hanya
masuk dalam klasifikasi berkotak-kotak ala rasio. Keindahanmu tak terjelaskan
dengan sempurna karena ada yang dilarang dalam ranah rasio. Karena sekarang,
dia (rasio) yang berkuasa. Oh, sungguh andai “dunia” bukan hanya saja meng
“adopsi” rasio dalam perjalanan waktunya, tapi juga meng “adopsi” intuisi,
refleksi, perenungan, dan pemaknaan dalam buaiannya. Mungkin dunia yang kita
lihat ini tidak seperti sekarang.
Oleh : Hendiperdana