Oleh : Dr. M. Rizky Hendiperdana
Golden Rules
Golden Rules
1.
Anamnesa
dan pemeriksaan fisik yang teliti akan mencegah adannya dugaan pelayan medis
yang di bawah standar
2.
Ketidakcocokan
pandangan antara dokter-perawat harus diselaraskan dalam rekam medis.
3.
Analisa
faktor risiko dapat membantu dokter dalam mendiagnosa masalah medis yang
mendasari.
4.
Mengulang
dan mengevaluasi tanda vital abnormal pasien sangat penting untuk mencegah
kesalahan medis dan untuk meningkatkan pelayanan berkualitas tinggi yang
diberikan.
5.
Pencatatan
yang detil mengenai kronologi pasien di IGD, diagnose banding, dan rencana
pengobatan adalah bagian penting dalam mencegah malpraktik kedokteran.
6.
Pencatatan
kepulangan pasien harus dibuat spesifik dan detil.
7. Komunikasi,
membangun kesan yang baik dengan pasien dan keluarga adalah kunci menghindari
ketidakpuasan pasien dan mencegah malpraktik kedokteran.
8.
Mempertahankan
kerja sama tim di dalam IGD dengan para staff.
9.
Waspadai
bahaya dari pertukaran shift.
![]() |
Numpang Eksis |
Dewasa ini praktik
kedokteran sangat sering dikenai isu-isu gugatan malpraktik. Hal ini muncul
karena masyarakat kesehatan yang semakin tercerahkan dan merebaknya media
sosial bagai cendana di musim hujan, sehingga arus informasi apapun kini
tersedia di dunia maya untuk diakses oleh siapapun juga. Akibatnya, dunia
kedokteran sangat sarat dengan isu-isu gugatan tentang malpraktik karena
masyarakat mulai sadar dan mengetahui akan hak-haknya sebagai pasien. Bagi
dokter, ini merupakan tantangan tersendiri bagaimana membentengi diri dengan
pengetahuan agar terhindar dari gugatan maupun tuntutan malpraktik medis yang
dewasa ini mengintai dalam tiap bidang di profesi kedokteran. Dalam rangka
meningkatkan kesadaran dokter atau tenaga medis akan kewajiban dan hak
hukumnya, penulis ingin sedikit berbagi tentang tanggung jawab khusus untuk
dokter yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat. Karena banyak sejawat dokter umum
yang bertugas di lini ini dan merupakan salah satu pelayanan kesehatan di lini
terdepan, sehingga penting bagi sejawat untuk memahami seluk beluk tanggung
jawab hukumnya. Berikut ini catatan yang dibuat penulis yang dikhususkan untuk
sejawat yang bertugas di IGD. Tulisan ini mengambil porsi yang dominan dari
buku “Medical Malpractice Survival
Handbook” yang dikeluarkan oleh American
College of Legal Medicine. Semoga catatan kecil ini dapat memberikan
manfaat untuk para sejawat.
Praktik di Instalasi
Gawat Darurat (IGD) betapa pun memiliki risiko legal medis bagi dokter yang
bertugas. Sebagai contoh di Amerika Serikat ( AS) dokter IGD menempati 53 %
dari seluruh tuntutan hukum. Hal ini dipersulit dengan beberapa kondisi seperti
dokter IGD tidak dapat membatasi praktiknya ( situasi yang dilematis dalam
realitanya) karena ia harus menerima segala situasi dan apapun kondisi pasien
yang datang dengan masalah yang tentu beragam. Begitu pasien masuk melalui
pintu IGD, secara yuridis dia akan menjadi tanggung jawab seorang dokter IGD.
Pasien yang datang ke IGD
berisi kondisi yang beragam mulai dari masalah yang ringan sampai yang
mengancam jiwa. Untuk masalah-masalah pasien yang mengancam jiwa dibutuhkan
seuatu keputusan yang segera dan dokter hanya memiliki informasi yang terbatas
sebagai landasan untuk menegakkan diagnosa, karena keputusan yang ditujukan
untuk menyelamatkan nyawa/ life saving
lebih menjadi prioritas untuk diambil ketimbang menggali informasi lebih dalam
dari keluarga atau pengantar pasien.
Dokter IGD akan
dihadapkan pada penundaan pemindahan pasien ke fasilitas yang lebih tinggi
seperti ICU, ruang operasi atau ruang perawatan biasa. Hal ini dapat disebabkan
oleh banyak hal seperti kondisi pasien yang belum stabil sehinga secara klinis
belum dapat dipindahkan ke ruangan perawatan karena membutuhkan stabilisasi di
IGD.
Dokter di IGD akan selalu
berkontak dengan banyak pasien dengan sakit akut. Beberapa diantaranya akan
menjalani perawatan di RS dan sebagian dipulangkan dengan catatan akan
dievaluasi ulang oleh dokter spesialis saat rawat jalan. Masalahnya begitu nama
dokter IGD sudah tercantum di rekam medis pasien, ia mengambil risiko untuk
menjadi pihak dalam gugatan atau tuntutan hukum. Pengacara penggugat sering
mendaftar seluruh nama dokter yang pernah kontak dengan pasien dalam bentuk
apapun. Perkara litigasi malpraktik seringnya merupakan dari hasil buruk yang
tidak terduga bukannya dari hasil pelayan medis yang tidak terstandar.
Ketika pasien datang
untuk kedua kalinya ke IGD dengan kondisi yang lebih buruk dibanding saat ia
dipulangkan, disanalah terdapat dugaan kelalaian medis. Sayangnya hal seperti
ini amat sulit untuk diprediksi dan oleh karena itu pencatatan yang teliti dan
detil terhadap setiap pasien sangat dimandatkan. Dokter harus mencatata tiap
temuan pemeriksaan pada pasien. Pencatatan “dalam batas normal /DBN “ atau
“normal” tidak merefleksikan kondisi pasien yang sesungguhnya dan bukan merupakan
pelayanan medis yang berkualitas.
Akan selalu ada pakar
atau pihak yang menginginkan untuk menunjukkan kekurangan yang dilakukan oleh
dokter IGD. Bagaimanapun melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik (PF) yang
teliti dan pencatatan yang menyeluruh akan menghasilkan rekam medis yang kuat
dari segi hukum. Dalam konteks hukum di Indonesia pencatatan yang teliti dalam
rekam medis diatur dalam UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
pasal 46 dan 47 dan secara khusus diatur dalam Permenkes No.269/MENKES/PER/III/2008
tentang Rekam Medis.2,3 Sehingga menghasilkan rekam medis yang
berkualitas akan meningkatkan kekuatannya dari segi yuridis. Pencatatan ini
mungkin dapat menolong dokter terhadap masalah hukum yang dapat timbul di
kemudian hari.
Malpraktik medis dapat
terjadi, sebagai contoh di Amerika Serikat (AS) 4 % dari pasien infark miokard
akut dipulangkan ke rumah dan lebih dari setengahnya jelas memiliki kelainan
EKG yang salah diinterpretasikan oleh dokter IGD.
Agar memahami pembahasan
lebih mudah, di bawah ini akan disertai ilustrasi kasus yang menggambarkan
beberapa point dari masalah yang
dibahas.
Ilustrasi
Kasus
Bu Janice Jones seorang wanita
berusa 43 tahun datang ke IGD sebuah RS dengan keluhan demam dan nyeri serta
linu-linu seluruh tubuh. Dia memiliki riwayat sehari lalu mengalami gejala
non-spesifik seperti myalgia, lemas,
demam dan menggigil. Pada kedatangan pertamanya dia tidak mengalami keluhan
lain. Dokter IGD mencatat detil semua temuan dari gejalanya, termasuk tidak
terdapat nyeri dada, sesak napas, mual, muntah, diare, gejala urinasi, dan
ruam. Pasien memiliki riwayat medis diabetes dan pneumonia.
Pada pemeriksaan fisiknya pasien ditemukan
mengalami dehidrasi ringan, takikardi dengan nadi 138, tekanan darah 92/60
mmHg, dan suhu 101.3 F, respirasi 23 kali dan saturasi oksigen 98 %. Dia
terlihat sadar penuh, tetapi menunjukkan respon yang lambat pada pertanyaan.
Pemeriksaan paru-paru, perut dan dada dicatat sebagai “normal”. Saat ia masih
di IGD, dia mendapat infus 2 liter cairan salin. Dia memiliki hasil urinalisa
yang normal dan pemeriksaan gula darah sewaktu kapiler 212 mg/dL. Dia
menyatakan kondisinya lebih membaik pada perawat IGD dan didiagnosa dengan
rawat jalan sebagai penyakit infeksi virus. Intruksi rawat jalan diberikan
padanya dengan catatan dia harus kembali ke IGD jika mengalami nyeri perut,
demam tinggi, dan buang air kecil yang sedikit. Jika dia tidak mengalami
perbaikan dalam 2-3 hari, dia disarankan untuk kontrol ke dokter keluarganya.
Bu Jones kembali ke IGD kurang lebih
12 jam dan diperiksa oleh dokter IGD yang lain. Tekanan darahnya 60/palpasi.
Dia mengalami penurunan kesadaran. Dokter IGD segera mempersiapkan untuk
melalukan intubasi and setelahnya melakukan intubasi pada pasien dengan lancar.
Dia memiliki hasil xray dada yang normal. Pemeriksaan darahnya menunjukkan
leukosit 27.000. pemeriksaan urinalisa normal dan elektrolitnya menunjukkan
asidosis ringan. Glukosa darah sewaktunya 180 mg/dL. Kemudian dia langsung
diterapi dengan antibiotic dan
steroid kemudian dirawat di ICU. Sayangnya, walaupun sudah dengan terapi
resusitasi cairan yang agresif, dopamine, dan penggunaan ventilator mekanik,
sepsisnya memburuk dan akhirnya pasien meninggal. Ibu dan anak pasien membawa
kasus ini pengadilan dan menuntut rumah sakit, perawat, dan dokter IGD atas
tuduhan kelalaian mereka dalam mendiagnosa dan memberikan penanganan yang tidak
maksimal pada sepsis bu Jones pada saat kedatangan pertama ke IGD.
Masalah
Pada banyak kasus, gagal mendiagnosa sepsis merupakan
sebuah tema berulang. Pasien yang datang apakah dengan penurunan kesadaran atau
temuan samar pada PF yang tidak diidentifikasi sebagai ancaman oleh dokter IGD.
Contoh, pada kasus ini takikardia dan penurunan tekanan darah pada pasien tidak
merepresentasikan dehidrasi melainkan shock
sepsis. Kunci dalam mendiagnosa sepsis secara dini adalah mengenal tanda vital
abnormal yang samar atau temuan lain yang inkonsisten dengan diagnose yang
dipikirkan.
Perkara hukum terkait sepsis sering
memperkarakan hal lain, yaitu penundaan terapi antibiotik. Ketika sepsis masuk
dalam daftar diagnose banding, dokter harus mempertimbangkan penggunaan
antibiotik sesegera mungkin. Setiap jam penundaan antibiotik akan meningkatkan
mortalitas sebesar 7 % sehingga dokter tidak perlu menunggu konfirmasi hasil
laboratorium atau penunjang lain untuk memulai terapi antibiotik. Dokter IGD
harus mengambil inisiatif untuk memulai antibiotik pada pasien dengan dugaan
kuat ke arah sepsis.4
Malpraktik medis yang melibatkan
dokter IGD secara umum mengikuti premis teori kelalaian. “Dalam rangka
membuktikan kelalaian, pasien atau penggugat harus membuktikan bahwa dokter
memiliki tanggung jawab pada pasien, kemudian dia melalaikan tugas/ tanggung
jawabnya, kemudian ada sebab langsung atau kelalaian itu secara nyata
menyebabkan langsung cedera dan terakhir harus terdapat suatu kerugian”. Di AS,
sejak 1986 the Emergency Medicine Treatment
and Active Labour Act (EMTALA) telah memberikan perlindungan dari
pemerintahan federal untuk pasien.
Pakta ini memandatkan semua pasien
mendapat medical screening yang cukup
untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi medis yang berbahaya. Jika ditemukan
kondisi medis yang berbahaya pasien harus distablisasi atau dirawat untuk
mendapat pelayanan medis yang dibutuhkan pasien. Beberapa pengacara yang curang
di AS menggunakan doktrin EMTALA ini untuk gugatan kelalaian medis yang
ditujukan terhadap dokter IGD.
Kondisi di atas adalah kondisi yang
tergambar di AS. Lalu bagaimana implementasi di Indonesia? Dengan beberapa
faktor seperti plafon BPJS di IGD. Apakah doktrin ini dapat terlaksana dan
diterapkan juga di Indonesia? Dimana coverage
biaya yang diberikan pada pasien IGD berjumlah Rp. 150.000,00 untuk setiap
pasien dan setiap jenis kasus.4 Bagaimana screening terhadap hal-hal yang mengancam jiwa dapat dilakukan
dengan keterbatasan itu.
Berbagai faktor dapat memainkan bagian
dalam misdiagnosis. Yang paling sering adalah faktor dokter gagal mendapatkan
dan/atau mencatat anamnesa dan PF yang detil dari pasien. Yang lebih jarang
adalah dokter memiliki pengetahuan yang minim terkait kondisi-kondisi yang
mengancam jiwa. Pada contoh kasus di atas, pasien nyatanya memiliki riwayat
pneumonia dengan sepsis. Dokter tidak melakukan pengecekan kembali terhadap
riwayat penyakit dari rekam medis pasien
atau mencari riwayat sepsis dari pasien atau keluarga.
Pengacara penggugat menduga hal
tersebut merupakan pelayanan yang tidak standar. Mereka menganggap kegagalan
dokter mendeteksi sepsis menunda diagnose dan menyebabkan kematian pasien. Oleh
karena itu penting pagi dokter untuk mencatat kunci dasar dari riyawat penyakit
saat ini yaitu karakter, onset, lokasi nyeri, radiasi nyeri, kondisi yang
memperberat dan kondisi yang meringankan gejala. Faktor risiko untuk penyakit
jantung koroner, emboli paru atau pun sepsis dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis dalam kasus yang sulit. Seringnya, analisa terhadap faktor risiko tidak
dicatat dalam rekam medis. Penggabungan dari analisa faktor risiko dan anamnesa
rutin di IGD mungkin dapat membantu menegakkan diagnosa yang layak.
Terkait dugaan adanya kelalaian dalam
melakukan PF yang baik, lagi-lagi, elemen penting dari PF biasanya tidak
ditulis. Sehingga menimbulkan asumsi bahwa PF tersebut tidak dilakukan. Ini
meletakkan beban pada tergugat dalam membuktikkan bahwa pemeriksaan detil sudah
dilakukan. Tujuan dari rekam medis adalah sebagai sarana komunikasi dengan
tenaga kesehatan lain mengenai tindakan atau terapi yang sudah diberikan. Rekam
medis harus akurat menunjukkan kondisi pasien, keluhan, diagnosa, terapi yang
telah diberikan dan rencana lanjut. Melalui pencatatan yang baik, ini semua
dapat tersampaikan antar tenaga kesehatan dengan kesalahpahaman yang minimal.
Sangat disarankan pula menyertai jam dan tanggal pada rekam medis. Dan dokter
dilarang untuk merubah isi status rekam medis di waktu yang berbeda.
Pada saat pasien diberi pengobatan,
perbedaan/ketidakcocokan antara catatan dokter dan catatan perawat harus
diselaraskan. Ketidakcocokan tersebut memberikan kepada pihak pengacara
penggugat potensi bukti pelayanan yang tidak standar. Disarankan dokter IGD
membaca catatan pre-hospital, catatan
triage, dan catatan perawat penanggung jawab pasien. Perbedaan yang siginifikan
harus dikaji dan dikoreksi sebelum pasien dipulangkan atau dirawat. Lebih jauh
lagi segala tindakan dan bahasa yang melenceng dan kasar dari pasien harus
dicatat. Yakinkan bahwa segala tindakan agresif dan mengancam harus dicatat dan
menghubungi pihak keamanan jika dibutuhkan.
Pasien yang tidak puas harus menjadi
perhatian oleh management dan wakil
direktur bidang pelayanan medis. Jika pasien atau keluarga mengancam untuk
menuntut, ini juga harus dicatat dalam rekam medis pasien yang bersangkutan.
Pastikan bahwa pencatatannya faktual, spesifik, dan tidak menghakimi.
Dugaan lainnya yang sering menyertai
dalam tuntutan pada dokter IGD adalah ketidakmampuan dalam meminta atau
menginterpretasi hasil penunjang medis. Pencara penggugat akan mendapat
keuntungan dari rekam medis jika hal ini terjadi. Hal ini bukan berarti bahwa
dokter harus “membom” pasien dengan segala pemeriksaan penunjang medis atau
meminta pemeriksaan penunjang hanya dengan tujuan defensive medicine. Sementara dugaan tersebut sering menyertai
tuntutan kelalaian medis, pemeriksaannya mungkin tidak memiliki efek terhadap
hasil akhir pasien. Terdapat banyak literature yang dipercaya untuk mendukung
penerapan teori berbasis bukti (evidence-based)
untuk menentukan dan memilih pemeriksaan penunjang yang tepat. Bagaimanapun
jika dokter memesan pemeriksaan penunjang medis dan hasilnya abnormal, dia
harus mencatat kelainan tersebut dalam rekam medis pasien.
Dalam kasus Bu Jones, kelalaian dalam
mendiagnosa adalah dugaan yang paling sering. Ketika dia datang kembali 12 jam
kemudian dengan kondisi penurunan kesadaran dan peningkatan leukosit,
gambarannya sesuai dengan sepsis. Standar pelayanan tidak dapat diukur berdasar
pada diagnosa akhir atau kondisi dan pemeriksaan terkini. Tetapi standar
pelayanan harus diukur berdasarkan fakta yang didapat pada saat kedatangan
pertama pasien. Jika menelaah lebih teliti pada kunjungan pertama, ini akan
mengarah ke sepsis. Pasien mengalami hipotensi dan takikardi tanpa sumber yang
jelas. Ini sangat mengarah ke sepsis. Kurangnya pemeriksaan ulang tanda vital
dan pencatatan pada observasi bu Jones saat di IGD membuat kasusnya lebih sulit
untuk dibela.
Yang terakhir pada kasus bu Jones.
Pengacara penggugat menduga adanya kelalaian dalam mengobati sepsis. Tuduhan
ini berkaitan denga kelalaian dalam mendiagnosa. Bagaimanapun, sangat jelas
tidak mungkin untuk mengobati suatu diagnosis yang mana kondisi tersebut tidak
disadari oleh dokternya. Tuduhan kelalaian dalam mengobati mengasumsikan bahwa
andai bu Jones diobati lebih awal, hasil akhirnya akan menjadi berbeda.
Saat pasien direncakanan untuk
pulang/rawat jalan, instruksi rawat jalan yang detil harus diberikan kepada
pasien. Seperti pada kasus ini, instruksi untuk follow-up kekurangan elemen penting. Instruksi untuk bu Jones
sederhana mengatakan dia harus kembali jika mengalami nyeri perut, demam tinggi
dan buang air kecil yang sedikit. Dia juga diberitahukan untuk memeriksa ke
dokter keluarganya dalam 2-3 hari jika tidak ada perbaikan. Walaupun begitu,
pengacara penggugat menduga instruksi rawat jalan yang diberikan tidak memenuhi
standar pelayanan, walaupun sepertinya apapun bentuk instruksi rawat jalan yang
diberikan tidak akan banyak membuat perbedaan.
Sangat penting untuk instruksi rawat
jalan secara jelas menyatakan tanda dan gejala yang harus diwaspadai, kapan
harus kontrol, dan alasan untuk kembali ke IGD. Ketika pasien menghubungi IGD
dengan keluhan yang semakin memberat, petugas harus memberikan arahan untuk
pasien kembali ke IGD untuk dievaluasi ulang. Pada akhirnya, follow-up yang teliti mungkin akan mencegah kejadian medis yang
berbahaya.
Strategi
Penanggulangan
Pertama-tama, adalah penting bahwa
anamnesa dan PF yang detil dan teliti untuk dilakukan oleh dokter. Rekam medis
“pintar” dapat membantu mengingatkan dokter pertanyaan terkait faktor risiko
dan gejala yang berhubungan selain mengidentifikasi tanda vital yang abnormal.
Rekam medis ini apakah kertas atau elektronik mengandung kolom yang dapat
membantu dokter mengingat detil-detil yang penting terkait pelayanan medis yang
berkualitas. Penting pula rekam medis “pintar” menyertakan data tanda vital
terakhir sesaat sebelum pasien akan pulang.
Kemudian audit internal dari RS
terhadap berkas rekam medis dengan feedback
individual terkait perilaku pencatatan rekam medis yang buruk, mungkin dapat
membantu mengurangi angka gugatan hukum yang potensial. Terkait tanda-tanda
vital yang abnormal, IGD harus memberlakukan monitor dan menentukan seberapa
sering tanda vital yang abnormal tersebut di eveluasi ulang. Ini dapat menjadi
sistem yang dilakukan dan dapat mencegah kerugian signifikan pada pasien dan
mengurangi kasus gugatan.
Rekam medis elektronik harus
memiliki kemampuan memperingatkan apakah perawat dan dokter bahwa pasien IGD
dipulangkan dengan tanda vital abnormal. Fasilitas-fasilitas itu tanpa sistem
elektronik harus menggunakan cara yang baik untuk mengingatkan petugas memeriksa
kembali tanda vital yang abnormal sebelum berencana memulangkan pasien.
Perlu diingat, sebuah catatan atau
dokumentasi bahwa dokter telah mengevaluasi tanda vital terakhir sebelum pasien
dipulangkan mungkin dapat menolong atau mengurangi kasus kelalaian medis yang
terkait dengan tanda vital. Pada akhirnya, penyuluhan pada seluruh petugas
termasuk teknisi dan perawat akan membantu untuk mendeteksi tanda vital pasien
yang abnormal.
Sistem yang terkomputerisasi untuk
pasien pulang yang menyimpulkan gejala apa yang harus diwaspadai agar pasien
datang ke IGD adalah jauh lebih baik ketimbang keterangan tertulis. Selalu
perkenankan pasien untuk kembali ke IGD jika terjadi perburukan gejala.
Pastikan bahwa petugas medis mendiskusikan instruksi rawat jalan dengan pasien
atau keluarga untuk menghindari kerancuan informasi. Jenis komunikasi seperti
ini akan meningkatkan kepuasan pasien dan pemahaman tentang diagnosa mereka dan
kapan mereka harus kembali ke IGD.
Penelitian membuktikan dengan
meningkatkan kualitas komunikasi dokter-pasien akan menurunkan angka tuntutan
malpraktik medis. Ada beberapa tahap mudah dalam konteks upaya
meningkatkan kepuasan pasien dalam komunikasi dokter-pasien. Pertama, anamnesa
dan pemeriksaan fisik yang detil dan menyeluruh akan memberikan kesan pada
pasien bahwa pemeriksaan yang kompeten telah dilakukan oleh dokter. Kedua,
membangun kesan yang baik dengan pasien dan keluarga dengan cara memberikan
informasi yang terbaru terkait hasil lab, evaluasi radiologi, dan perkiraan
waktu tunggu. Terakhir, saat diagnosis ditegakkan, dokter harus menyediakan
waktu untuk menjawab pertanyaan terkait diagnosis dan rencana terapi serta
alasan apabila akan merawat atau memulangkan pasien.
Ada beberapa kondisi medis yang
berisiko tinggi dimana dokter dituntut mengambil perhatian yang lebih. Salah
satunya adalah kondisi jantung seperti angina pectoris atau infark miokard,
diseksio aorta, emboli paru akut, anak dengan demam (terutama lalai dalam
mendiagnosa meningitis dan sepsis), appendicitis yang terlewat, dan benda asing
dalam luka.
Terdapat bahaya yang potensial untuk
pasien saat tenaga kesehatan menjadi terlalu lelah karena shift yang panjang dan tidak teratur. Kondisi ini harus dihindari
sedapat mungkin. Perhatian khusus saat pergantian shift dan proses pengambil alihan pasien harus dilakukan oleh
dokter yang selesai maupun yang akan memulai shift. Komunikasi harus dibuat akurat. Miskomunikasi sering terjadi
pada waktu-waktu ini. Oleh karena itu perhatian lebih harus diberikan pada
waktu pergantian shift.
Direkomendasikan bahwa dokter yang
akan memulai shift untuk mengevaluasi
secara mandiri. Evaluasi mandiri ini mungkin memberikan kesempatan untuk
menemukan diagnosa yang dilewatkan pada shift
sebelumnya. Dokter harus mencatat seluruh kejadian penting yang terjadi dalam
satu shift tersebut untuk menjamin
ingatan yang lebih akurat. Jangan menunggu sampai diakhir shift untuk mencatat kejadian-kejadian penting selama shift berlangsung.
Dokter IGD akan berinteraksi dengan
berbagai dokter dan konsultan selama menjalankan shift dalam melayani pasien. Sangat penting bahwa isi pembicaraan
telepon antara dokter dan konsultan dicatat dengan baik di dalam rekam medis.
Ini dapat membantu pula, jika waktu dan jam saat interpretasi hasil lab dan
konsultasi juga dicatat.

Terakhir, mempertahankan iklim kerjasama di IGD dengan seluruh petugas yang ada dan dengan departemen lain akan meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.
Referensi :
1.
Hubler,
R James, et al, Medical Malpractice Survival
Handbook : Emergency Medicine Liability. P 383-391. Mosby Elsevier (2007)
2.
UU
No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
3.
Permenkes
No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis
4.
BPJS
5.
Moore
PJ, et al, Medical Malpractice : The
Effect of Doctor-Patient Relations on Medical Patient Perception and
Malpractice Intentions. West.J.Med.173 : 244 (2000).
No comments:
Post a Comment