Hak Pasien dalam Pelayanan Kesehatan
(Sebuah Renungan)
Oleh : M. Rizky Hendiperdana
Tulisan
ringan ini dibuat berangkat dari sebuah renungan dan keprihatinan pribadi
terhadap apa yang dewasa ini sering terjadi dan kulihat dalam keseharian
pelayanan kesehatan di Indonesia baik di RS ataupun di sarana kesehatan
lainnya. Keprihatinan ini adalah tentang menurunnya kualitas interaksi yang
terjadi dalam praktik layanan kesehatan. Kualitas interaksi tersebut dilihat
dalam konteks interaksi yang saling menghargai dan menghormati baik antara
pihak pasien dengan tenaga kesehatan maupun antar sesama tenaga kesehatan.
Kita
semua sangat memahami bahwa dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang berkualitas amat sangat bergantung dari sisi sumber daya
manusianya. Dalam hal ini tenaga kesehatan baik dokter, dokter gigi ,perawat,
tenaga farmasi, terutama yang berhadapan langsung dengan pasien tentu memiliki
peran sentral yang menentukan kualitas sebuah layanan kesehatan. Disamping
faktor pembiayaan kesehatan dan teknologi kedokteran yang menyertainya.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam melaksanakan profesinya sebagai seorang manusia,
pasti sangat bergantung dari suasana psikologis batinnya. Ketika ada suatu hal
yang mengganggu kenyamanan psikologinya dalam menjalankan profesinya, hal itu
akan menjadi sesuatu yang kontra-produktif terhadap kualitas pelayanan
kesehatan. Sangatlah wajar jika kita perlu menengok sejenak aspek kenyamanan
psikologis dalam profesi kesehatan ini secara khusus.
Memang
sudah merupakan risiko dari sebuah pekerjaan yaitu adanya beban kerja yang
harus dipikul. Beban kerja tersebut seyogyanya harus yang terkait dengan tugas
pokok dan fungsi dari tenaga kesehatan tersebut. Sangat ironis rasanya ketika
sering dihadapkan pada sebuah realita dimana seorang tenaga kesehatan juga
harus menanggung hal–hal yang berada di luar jangkauan tanggung jawabnya,
ditambah lagi dengan krakteristik masyarakat yang sudah mulai berubah akibat
adanya beberapa perubahan dalam segala dimensi, salah satunya kemajuan
teknologi informasi.
Masyarakat
kini lebih senang bersikap kritis yang cenderung berlebihan. Mengapa demikian,
karena konsumen atau pengguna layanan kesehatan lebih cenderung bersikap
“kasar” secara psikologis, yaitu menunjukkan sikap-sikap yang kurang layak
untuk ditunjukkan oleh orang yang terdidik seperti memaki, berbicara dengan
nada tinggi, berteriak kasar dsb kepada petugas kesehatan apapun profesinya.
Tentunya kita semua perlu mencermati bahwa kembali lagi dibahas seperti yang
dijelaskan awal, petugas kesehatan adalah seorang manusia yang harus dijaga dan
dihormati perasaan, hati dan martabatnya. Terlebih lagi saat tindakan-tindakan
tersebut dilakukan di depan umum/khalayak. Ketika perasaan seorang tenaga
kesehatan sudah terganggu dengan apa yang dilakukan terhadapnya sudah barang
tentu fokus dan konsentrasinya akan terganggu dan hal ini pada akhirnya hanya
akan merugikan pasien.
Segala
kecederungan perilaku konsumen kesehatan dewasa ini seperti yang disebutkan di
atas berawal dari sebuah perubahan tren yang terjadi dalam hubungan terapetik
antara pasien dan tenaga kesehatan. Pergeseran ini merubah pola komunikasi dan
interaksi terapetik dari vertikal-paternalistic menjadi horizontal-kemitraan.
Pola hubungan ini berubah dari yang dulu pasien berada di bawah posisinya
dibanding tenaga kesehatan dalam hal komunikasi terapetik, sehingga pasien
hanya tinggal terima saja terhadap apa yang akan diberikan terhadapnya dan
pasien tidak perlu banyak bertanya tentang keadaannya, percayakan semuanya pada
petugas kesehatan (dokter). Pola itu berubah kini menjadi hubungan yang lebih
sejajar atau hampir sejajar. Kini pasien lebih menyadari hak-haknya yang pada
zaman dulu tidak difasilitasi seperti hak atas informasi terkait dirinya dan
hak atas menentukan nasib sendiri. Sebenarnya dalam keseharian hubungan
terapetik pasien-dokter sangat banyak terdapat hak dan kewajiban yang melekat
pada keduanya. Namun pada kali ini penulis akan lebih menfokuskan terdapat dua
hak pasien yang paling mendasar ini.
Sistem
pelayanan kesehatan pun mengakomodasi hak-hak tersebut dengan memberlakukan
beberapa prosedur seperti pengajuan tersetujuan tindakan medik atau informed consent dalam bahasa
inggrisnya, yang dilakukan sebelum ada sebuah tindakan medis berisiko yang akan dilakukan terhadap pasien.
Hal ini tentunya mendahulukan pemberian informasi lengkap terkait prosedur
tersebut kepada pasien. Oleh karena itu istilah dalam bahasa inggrisnya yaitu informed consent akan lebih tepat jika
dikaitkan dalam konteks ini. Karena dalam penggalan kata informed dan consent,
terdapat komponen “informed” yang
secara harfiah artinya memberi informasi atau penjelasan. Sedangkan komponen “consent” artinya memberi persetujuan
atau persetujuan. Oleh karena itu secara kontekstual informed consent memberi pemahaman yang berarti sebuah persetujuan
setelah adanya penjelasan seperti yang tercantum di dalam UU No. 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat 1 dan 2. Dalam konteks ini pasien atau
keluarga pasien berhak menerima
informasi yang kiranya penting terkait apa pun yang akan dilakukan terhadap
dirinya atau keluarganya sebelum memberikan persetujuannya secara tertulis.
Disebutkan
di atas bahwa pola hubungan dokter-pasien adalah hampir sejajar bukan sama-sama
sejajar posisinya. Hal ini diartikan bahwa dalam hubungan tersebut pasien bukan
serta merta dapat menentukan segala sesuatu yang sesuai keinginannyas sendiri,
seperti memilih terapi yang tidak disarankan bahkan sampai mengendalikan
jenis-jenis obat yang ingin didapat di luar saran dokter. Hal ini berbicara
tentang hak pasien dalam menentukan nasib sendiri tetaplah dibatasi oleh
koridor kemandirian profesi kesehatan. Sehingga perlu dipahami bahwa hak atas
menentukan nasib sendiri bukan berarti hak mutlak terhadap jenis pengobatan apa
pun yang ingin pasien dapatkan layaknya dalam transaksi jual-beli biasa.
Hal
lain terkait hak atas informasi medis, tidak semua informasi terkait penyakit
pasien harus diberikan kepada pasien, informasi yang terlalu mendetil tentang
penyakitnya hanya akan membuat pasien bingung dan bagi tenaga kesehatan hal itu
terlalu membuang waktu untuk menjelaskan hal yang terlalu mendetil, seperti
mekanisme mendetil proses penyakit, mekanisme selular, reaksi biokimia, dll.
Pasien berhak mendapatkan informasi medis terkait dirinya hanya yang dianggap
perlu untuk pasien saja dan tentu dianggap penting. Jadi sebuah kenyataan
pasien berhak atas informasi penyakitnya tetap dibatasi oleh hal-hal yang perlu
diketetahui pasien seperti diagnosa, rencana pengobatan, risiko pengobatan atau
tindakan, alternatif pilihan pengobatan, risiko terburuk jika tidak diobati,
komplikasi yang mungkin timbul, prognosis ke depan, dll seperti yang tercantum
dalam Pasal 45 ayat 3 Jo Pasal 52 (a) UU Praktik Kedokteran yang semuanya
memiliki hubungan langsung dan ada kaitannya untuk pasien bukannya informasi
membabi buta yang melimpah dan terlalu mendetil yang tidak memiliki sangkut
pautnya terhadap kondisi pasien.
Hal
ini perlu diutarakan, sebab ketika tenaga kesehatan disibukkan fokus dan
waktunya pada hal-hal yang kurang penting seperti melayani pemberian informasi
yang terlalu mendetil pada pasien, ini akan menurunkan kualitas layanan
kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan tersebut. Bahkan hal yang
menjadi esensi dalam hal pelayanan kesehatan akan terbengkalai yang pada
akhirnya akan merugikan pasien juga.
Kedua
hal yang disebut di atas, yaitu hak pasien untuk menentukan nasib sendiri dan
hak atas informasi tentunya harus dilihat secara bijak oleh kedua pihak baik
pemberi layanan maupun pengguna layanan kesehatan dan tetap harus berada pada koridor yang seharusnya. Jangan sampai
tuntutan yang begitu tinggi terhadap hak-hak tersebut malah akan menurunkan
kualitas pelayanan kesehatan. Tentunya di sini pasien atau konsumen pelayanan
kesehatan tentu tidak mau dirugikan dengan menurunnya kualitas pelayanan
kesehatan.
Perlunya hal tersebut disampaikan karena
terdapat sebuah tren yang masif terhadap perilaku konsumen jasa kesehatan yang cenderung
melampaui batas dalam penafsirannya terhadap hak-hak pasien. Tentunya hal ini
tetap harus dijaga keseimbangannya, jangan sampai tidak seimbang. Di satu sisi
tenaga kesehatan tetap harus memperhatikan hak-hak dasar yang melekat pada
pasien, jangan sampai pasien terbengkalai hak-hak dasarnya. Di sisi yang satu
perlu ada mekanisme kontrol terhadap penuntutan hak-hak pasien tersebut agar tidak
melampaui batas dan akhirnya sampai mengganggu kemandirian dan independensi
profesi dalam hal ini profesi dokter. Perlu ada kesepahaman dan empati yang
ditumbuhkan antar pihak-pihak tersebut agar interaksi terapetik dalam layanan kesehatan
di Indonesia tumbuh dalam kerangka yang konstruktif bukan malahan
kontra-produktif.
Referensi : - UU No.29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi