Oleh : Hendiperdana
“Ayo
dong kita menulis cerpen!” Seolah-olah itu yang keluar dari mulut buku ini jika dia bisa berbicara. Menulis cerpen dapat
menjadi jalan awal atau batu loncatan bagiku untuk menapaki karya-karya
lainnya. Karena sampai sejauh ini karya cerpen masih dinilai karya yang paling
“mudah” untuk dibuat dibanding karya-karya lainnya. Oleh karena itu dalam
rangka usahaku menjadi seorang penulis yang baik, cerpen akan menjadi pilihan
saya untuk memulai berkarya. Semoga tetap istiqamah, konsisten dan kuat untu
terus berkarya.Hari ini aku meminjam buku dari perpustakaan daerah Jawa Barat, kebetulan perpus ini letaknya tak jauh dari rumahku. Hanya beberapa meter saja. Beruntungnya aku. Perpustakaan sebesar ini dan koleksi bukunya yang amat banyak dan lengkap berjarak hanya beberapa langkah dari rumahku. Buku yang kupinjam itu berjudul Proses Kreatif Menulis Cerpen karya Hermawan Aksan. Aku sangat berterima kasih pada pengarangnya karena melalui karyanya dia memompakan semangat baru untuk terus berkarya dalam menulis ke jiwaku.
Apa
yang mau ditulis dalam hamparan kertas putih kosong tanpa goresan? Bagaimana
caranya menyulap kertas kosong yang tanpa makna menjadi goresan-goresan tulisan
yang mengandung banyak makna tergantung yang menafsirkan.
Baiklah,
kita akan mulai segala aktivitas menulis ini dengan mencoba membuat karya
cerpen. Sebelumnya apa cerpen itu? Dalam buku karya Hermawan Aksan yang disebut
di atas, perbedaan yang mencolok antara cerpen dan novel adalah terletak pada
sorotan konfliknya. Kalau cerpen tokoh sentralnya hanya satu dan alur
konfliknya juga satu. Novel memiliki alur yang lebih kompleks dalam ceritanya
dan tokohnya lebih banyak yang mengisi alur dalam sebuah cerita, bisa saling
bersinggungan satu sama lain dalam salah satu bagian cerita. Intinya cerpen
lebih sederhana dalam penggambaran alurnya.
Menurut
buku Hermawan Aksan (yang menjadi pengetahuan baru untukku) sebuah cerpen yang
baik hanya membutuhkan tiga unsur di dalamnya ( bukan struktur). Unsur itu adalah
tema, alur dan karakterisasi tokoh.
Kalau
masalah tema beliau menyarankan sebuah cerita pendek harus memiliki sebuah tema
utama yang menggambarkan keseluruhan isi cerpen itu. Nah, kalau sebuah cerpen
temanya tidak jelas, itu sama saja dengan berjalan di kegelapan tanpa tahu arah
dan tujuannya, Kata Hermawan Aksan. Betul juga, setelah kubaca beberapa contoh
cerpen dalam buku karyanya itu, memang cerpen-cerpen itu masing-masing memiliki
tema atau “ruh” yang ingin disampaikan melalui alur cerita dan karakter
tokoh-tokohnya. Kebanyakan temanya berkisar antara kebijaksanaan hidup,
pelajaran hidup, dan isu sensitif sosial kemasyarakatan. Penyampaian melalui
cerita ini tidak berkesan menggurui walaupun inti yang ingin disampaikan
sebenarnya adalah sebuah “pelajaran”.
Lalu
bagaimana dengan alur? Tentu saja alur adalah unsur yang tidak kalah
pentingnya. Bagaimana cerita ini bisa memberikan penggambaran logis dan
kronologis kalau tidak memiliki alur di dalamnya. Untuk alur cerita nampaknya
pasti kita semua sudah mengerti pentingnya unsur tersebut dalam sebuah cerita
terutama cerita pendek.
Unsur
terakhir yang ada dalam sebuah cerita adalah karakterisasi tokoh di dalamnya.
Setelah kurenungkan lebih dalam (walau aku sama sekali tidak memiliki latar
belakang sastra sama sekali, tapi aku sering membaca karya fiksi) ternyata
karya-karya fiksi yang telah kubaca adalah karya-karya sang pengarang yang
membuat karakterisasi tokohnya amat terasa. Deskripsinya begitu jelas dan
seolah dia nyata. Maka tak heran beberapa karya fiksi besar yang telah kubaca
membuat seolah aku “mengenal” tokoh-tokoh di dalamnya. Tentunya ini karena
deskripsi karakter yang amat baik dari pengarangnya. Semisal dalam novel thriller Tunnel Karya Roderick Gordon
dan Brian Williams yang membuat seolah-olah saya mengenal sosok Will Burrow
remaja yang penuh dengan rasa penasaran dan selalu melampiaskan rasa
penasarannya dengan penggalian dan penjelajahan ke bawah tanah untuk menemukan
ayahnya. Karakternya baik fisik dan sifatnya amat jelas digambarkan oleh penulisnya.
Sehingga tidak berlebihan ketika membacanya, Will seperti sedang berbincang
dengan kita atau setidaknya aku melihatnya secara langsung.
Untuk
masalah karakterisasi tokoh dalam sebuah cerita, rasanya belum lengkap kalau
kita tidak membahas novel The House of
Spirit karya Isabel Allende. Sungguh, walaupun sudah sekitar 6 bulan yang
lalu aku menyelesaikan membaca novel ini, tetapi tokoh Clara yang ada di novel
ini masih sangat jelas di ingatanku. Karakterisasinya yang kuat seolah Clara
hadir dan menemani keseharian kita dengan karakter yang digambarkan oleh
penulisnya atau mungkin sebaliknya seolah aku yang selalu hadir di sana saat
tokoh Clara sedang menjalankan perannya dalam cerita itu. Sejauh ini Clara
masih menjadi karakterisasi tokoh yang terbaik menurutku. Tentu saja akan
berbeda tiap penilaian orang.
Begitulah
kekuatan karakterisasi tokoh dalam sebuah cerita. Dia akan memperkuat isi
cerita, membuat nyata jalan cerita, mewarnai konflik yang ada, dan lebih
hebatnya lagi ketika penulisnya membuat kita “mengenal” secara pribadi tokoh
yang ada di dalamnya.
Pembahasan
ini sama sekali masih jauh dari kata baik. Tapi ini setidaknya yang bisa kugambarkan
dalam semangat dan inspirasi baru yang kudapat setelah membaca karya Hermawan
Aksan ini yaitu Proses Kreatif Menulis Cerpen. Semoga aku tidak hanya membaca
bukunya dan kemudian melupakan ide-ide dan kiat yang ada di dalamnya, tetapi
juga berkarya dan terus berkarya.
Terima
kasih kang Hermawan Aksan