“Penulis”,
hanya ini sebuah kata yang kupikirkan dalam benak. Bagaimana caranya menjadi
seorang penulis yang baik. Wacana ini selalu saja berputar di tempat yang sama,
seputaran bagaimana jadi penulis yang baik, apa yang harus dilakukan jadi
penulis yang baik, cerita tentang minat saya menjadi penulis, dll. Semua
berkisar tentang tema itu tanpa sekalipun ada sebuah aksi nyata untuk merintis
mencapai hal tersebut.
Manusia
memang hanya seorang perencana, sebaik apapun kemampuan eksekusinya. Betulkah
begitu ? Saya ragu. Manusia tidak hanya berada dalam posisi perencana saja. Essensinya
lebih dari itu. Manusia adalah perancang. Perancang apa ? Tentu saja perancang
minat, niat, tekad, dan keinginan untuk bergerak. Manusia berhak untuk
merancang segala perlengkapan mentalnya untuk mencoba atau tidak segala yang direncanakannya.
Bingung ? Sejujurnya saya juga bingung tapi biarlah yang penting tulisan ini
mengalir jangan statis dan diam. Kata orang sesuatu yang tidak mengalir atau
statis atau diam tidak baik. Katanya juga yang statis itu adalah sumber
penyakit. Penyakit apa dulu nih? Tentu semua penyakit.Penyakit hati, penyakit
sosial, penyakit ekonomi, penyakit jiwa, penyakit jantung, intinya berlaku di
penyakit mana pun. Sifat statis bagaikan semacam mata uang yang berlaku di
semua Negara. Sifat statis berlaku di ranah mana pun untuk menimbulkan
penyakit.
Kok
terlalu jauh ya ? Sudahlah lupakan saja. Pura-pura lupa saja, atau pura-pura
gila atau pura-pura belum mandi.
Begini
ya, banyak yang bilang “menjadi penulis itu mudah”, atau dengan kata-kata yang
lebih menghibur “menulis itu mengalir saja seperti kita bernafas”. Saya
sebenarnya takut mendengar kata-kata terakhir ini. Kalau diresapi lebih dalam,
menulis mengalir seperti bernafas. konsekuensinya ngeri juga. Bayangkan kalau tiba-tiba kita mengalami writer-block. Blank. Kosong. Ngga tau
mau nulis apa. Saya membayangkan kalau menulis seperti nafas berarti saat itu juga
saya mengalami henti nafas. Ya Allah seram juga ya. Tapi apapun lah ya namanya
juga bahasa kiasan. Jangan terlalu dibawa serius, yang namanya bahasa kiasan
kalau dianggap serius apalagi sampai dimasukkin ke hati bisa jadi perkara besar
dan huru-hara. Berlebihan ya kata-katanya? Iya, sedikit.
Contoh
konkritnya apa ya ? Oh ya masalah peribahasa “surga berada di bawah telapak
kaki ibu.” Kiasan ini sekilas nampak harfiah ya. Jelas ada subjeknya yaitu ibu,
ada objeknya yaitu surga dan telapak kaki ibu. Kalau ditafsirkan secara bebas
mungkin begini ya kira-kira. Kalau kita mati kemudian mayat kita diinjak sama
telapak kaki ibu kita maka saat itu pula kita akan langsung lewat jalan by-pass ke surga. Ok, itu terlalu
radikal. Terlalu keras. Terlalu ekstrim kalau kata anak-anak remaja yang lagi
doyan olahraga ekstrim. Penafsiran masalah kiasan telapak kaki ibu yang lebih
moderat kira-kira begini mungkin ya. Kalau kita mencuci telapak kaki ibu dengan
air dan bekas airnya itu kita minum maka segala segi kehidupan kita akan
dipermudah semudah kehidupan di surga. Lumayan moderat, tidak terlalu ekstrim. Hanya
saja saya suka bingung, kalau setelah kita minum air hasil bekas mencuci
telapak kaki ibu kita itu lalu kita memaki-maki ibu kita apa surganya masih
milik kita. Jadi penafsiran yang moderat ini masih rada berbahaya nih, karena
maknanya masih buram, abu-abu atau remang-remang juga boleh.
Tadi sudah bahas
penafsiran yang ektrem dan moderat ya. Ok, sekarang boleh kan saya punya
penafsiran versi sendiri? Boleh ya. Kalau saya sih menafsirkan begini. Kalau telapak
kaki ibu kita itu udah dibandingkan dengan surga – telapak kaki ya tentu saja
identik dengan bagian terendah dari struktur manusia dalam posisi anatomi,
bagian tubuh terkotor karena menginjak bumi – apalagi kalau kita mengecup
pipinya, mengecup dahinya, meringankan deritanya bahkan sampai menyentuh
qalbunya. Ah apa ada essensi perbandingan yang lebih tinggi dari surga ? Kalau
telapak kaki ibu kita saja identik dengan surganya Allah apalagi dengan bentuk
bakti yang lain dari sekadar “mencuci kaki dan meminum bekas airnya”. Bagian
ini tidak dimaksudkan untuk menggurui siapa pun, di mana pun. Tulisan ini juga
ditujukan untuk diri saya sendiri yang terkadang masih lupa dan sering khilaf
dalam memperlakukan orang tua terutama Ibu. Ampuni hamba ya Rab.
Ok,
sampai mana ya kita tadi. Oia kita sampai pada kata-kata mutiara atau yang
sering disebut kata motivasi untuk menulis. Setelah tadi ungkapan “menulis
mengalir seperti kita bernafas” ada juga ungkapan yang lebih intelek. Seorang
penulis bernama Roland Fishman menulis sebuah buku berjudul “ Menulis itu
Genius”. Menurut saya sih ini cukup. Cukup untuk bikin saya putus asa. Tahu kan
alasannya kenapa ? Sudahlah tidak usah dibahas nanti jadi bosan.
Pembahasan
kata-kata mutiara yang memotivasi untuk semangat menulis kita cukupkan disini
ya. Sekarang kita coba bahas sedikit aspek lain. Saya terpikirkan untuk
mendokumentasikan semua pengetahuan – ingat, pengetahuan, bukan skill- tentang menulis dan aktivitas
sekitar menulis yang saya dapat dari buku, artikel, atau apa pun itu yang saya
baca. Beberapa hal itu saya ingat dengan jelas karena memang saya hanya ingat
mengingat-ingatnya saja tanpa implementasi dan beginilah hasilnya Nol besar. Banyak
dari pengetahuan ini yang memotivasi dan menumbuhkan gairah menulis yang besar
namun lagi-lagi musuh besar selalu menguntit. You know what ? Yes, that’s procrastination. Kebiasaan menunda ini
racun utama yang selalu menggerogoto inspirasi, motivasi ataupun niat yang
sudah dikumpulkan untuk memulai sebuah proyek menulis. Baik, kita tidak akan ke
si procrastination dulu, karena
sampai sekarang dia masih jadi buronan, belum tertangkap apalagi diadili dan
dipenjara. Intinya dia masih berkeliaran di sekitar saya, mengintai saat yang
tepat dan bum ! semuanya hancur. Bisa
saja si procrastination ini juga
berkeliaran di sekitar rumahmu, atau di jendela kamarmu, bahkan mungkin lagi
gelendotan di bahumu ! hiiii. Ngeri emang si procrastination ini.
Kita
kembali ke teori-teori tentang aktivitas menulis. Teori pertama dan utama
tentang aktivitas menulis yang saya ingat itu adalah “menulis itu dasarnya
berbagi, berbagi pengetahuan dan pengalaman yang kita punya dalam bentuk
tulisan yang bisa orang lain baca.” Serius kata-kata ini berkali-kali
membombardir kesadaran dan semangat untuk terus belajar nulis. Kemudian apalagi
ya? Oia, “menulis itu memperpanjang umur kita” awalnya saya juga berpikir kok
bisa ya? Apa hubungannya umur sama aktivitas tangan kita yang menulis, apakah
dengan kita menulis kemudian sel-sel dan
seluruh molekul di tubuh kita dengan sengaja mengorganisir diri menjadi lebih
sehat. Who knows ? Bisa saja,
walaupun kurang logis. Ternyata setelah saya pikir lagi yang dimaksud umur
disini bukan umur biologis tapi umur sosial atau istilah eksistensi kita di
dunia. Ga percaya ? Pernah dengar
Homer kan ? Penulis drama terkenal Odisey dari Yunani kuno atau William
Shakespeare atau yang menurut beberapa sumber nama aslinya itu Edward De Vere
penulis Hamlet. Mereka hidup di zaman yang mungkin kita percaya ga percaya
zaman itu ada. Tetapi karya drama masih dipentaskan dan dikaji oleh sastrawan
sampai saat ini. sampai detik ini. Usia biologis? Tentu mereka pasti sudah
membusuk, bahkan atom-atom penyusun tubuh mereka dulu mungkin sudah jadi bagian
atom-atom penyusun dahan pohon pisang di daerah Indramayu, Jawa Barat.
Banyak
lah perihal tentang menulis yang mau diceritakan di sini. Walaupun sekali lagi
saya tegaskan saya sama sekali bukan penulis tapi hanya sering baca teori
tentang nulis. Ya, beginilah. Terakhir deh ya sebelum sesi ini kita tutup – kayak seminar aja-
Ungkapan
yang membuat saya terus semangat untuk belajar nulis itu kira-kira bunyinya
begini “dengan menulis kita pergi kemana-mana tanpa kemana-mana. Mohon maaf
sekali saya lupa orang yang mencantumkan ungkapan ini. Siapapun dia menurut
saya ini ungkapan yang brilian. Contohnya dalam artikel di situs pribadinya Pandji
Pragiwaksono di www.pandji.com/unless/
yang judulnya “Unless” yang menyuarakan untuk banyak menulis di blog. Salah
satu pernyataannya di artikel itu “kini internet membuat saya di Jakarta bisa dipahami isi
kepalanya oleh orang yang ada di Maluku tanpa siapapun harus keluarkan uang
hingga jutaan rupiah untuk tiket, makan dan penginapan”. Itu bener
banget sssoooooobb ! Kita kemana-kemana tanpa pergi kemana-mana. Maksudnya
kata “kita” itu bukan pengertian fisik, biologis, jasmaniah. Tapi lebih ke
makna essensi diri kita yang terwakili dengan ide, gagasan, pemikiran,
kreatifitas, dsb. Bayangkan pemikiran seseorang di sebuah daerah terpencil di
dunia atau mungkin di daerah konflik yang dituliskan dan didokumentasikan
dengan bantuan internet ataupun media publikasi apapun bisa mengubah pandangan
dunia. Yah, untuk alasan-alasan inilah saya masih terus berusaha untuk belajar
menulis. Walaupun saya tahu sebenarnya menulis itu sama sekali tidak mudah. Nanti
kita sambung lagi sharing tentang
alasan-alasan lain yang membuat saya terus mau belajar nulis.
Tulisan ini memang berputar-putar lagi tidak
jelas ditambah dengan warna kekacauan. Saran saya setelah baca tulisan ini
baiknya pergi ke psikolog untuk terapi melupakan sesuatu. Sudah lupakan saja,
atau pura-pura gila , pura-pura belum mandi juga boleh.
Oleh : Hendiperdana
Oleh : Hendiperdana