Oleh : Hendiperdana
Saat
berkunjung ke kota Makassar, Sulawesi Selatan selama 3 hari kemarin memberikan
pengalaman baru bagi saya. Karena ini adalah kunjungan pertama ke kota ini dan
pertama kalinya saya menginjakkan kaki di pulau Sulawesi membuat takjub dengan
apa yang saya lihat di kota ini. Pada hari-hari perjalananku di kota ini saya
menyempatkan untuk mengunjungi perpustakaan umum kota Makassar yang terletak di
jalan Lamaddukelleng no.3. Di sana saya menemukan sebuah poster layanan
masyarakat tentang gerakan membaca dan menulis dan saya menemukan sebait
kalimat “Menulislah jika kamu tidak ingin hilang dalam pusaran zaman.” Sebuah
perumpamaan yang baik menurut saya. Ajakan atau mungkin bentuk perintah untuk
menulis dan menghasilkan karya dari pemikiran kita. Menulis dengan tujuan karya
yang kita hasilkan tidak mati ditelan zaman karena sebuah karya dari hasil
pemikiran dan pembelajaran memiliki usia yang lebih panjang ketimbang yang
memiliki karya itu. Usia kehidupan kita mungkin tidak akan melebihi 100 tahun
tetapi tulisan yang kita buat yang dapat mempengaruhi orang lain dapat bertahan
hidup sampai ribuan tahun. Pusaran zaman seiring dengan bergulirnya waktu
seolah tidak peduli terhadap manusia yang hidup di dalamnya ketika umur manusia
sudah habis, pusaran zaman hanya mengingatnya hanya sebait nama tak lebih. Apa
yang membuat manusia dikenang oleh generasi-generasi berikutnya adalah saat dia
bisa menghasilkan karya dari buah pemikirannya yang dapat bermanfaat untuk
orang lain.
Francis
Bacon seorang filsuf prancis yang terkenal di era renaissance tahun 1605
mengatakan
“maka
kita lihat, betapa monument-monumen akal dan pembelajaran jauh lebih bertahan
daripada monument-monumen kekuatan atau karya tangan. Karena bukanlah bait-bait
Homer bertahan dua ribu lima ratus tahun atau lebih, tanpa kehilangan satu
patah kata atau huruf pun. Dalam kurun waktu itu tak terkira banyaknya istana,
kuil, benteng, kota yang telah membusuk dan hancur ?”
( The Advancement of Learning )
Bukankah
kekuatan dari buah pemikiran dan akal dapat bertahan selama itu lebih kekal
dari buah kekuatan tangan. Francis Bacon mengungkapkan hal itu saat kemajuan
seni, ilmu pengetahuan dan sastra sedang berkembang pesat di eropa setelah
melewati abad kegelapan. Bacon bukan hanya menyatakan kekuatan buah pemikiran dalam
peradaban manusia tetapi juga kelanggengannya dalam mengisi khazanah peradaban
manusia. Manusia adalah makhluk pembelajar yang merupakan keunikannya yang
membedakan dengan makhluk lain. Manusia bisa membuat abstraksi dari
realitas-realitas yang mereka amati dengan panca inderanya dan dituangkan dalam
bentuk tulisan. Sehingga manusia lain dapat mempelajari pesan dan manfaat yang
terkandung dalam abstraksi tersebut. Manusia melakukan simbolisasi terhadap
realitas-realitas sehingga manusia lain dapat ikut mengkaji realitas tersebut
tanpa menghadirkan objek kajian tersebut di depan mata. Kekuatan literasi yaitu
kekuatan tulisan untuk dapat memindahkan hakikat dan manfaat ilmu yang dimiliki
seseorang di kepalanya kepada orang lain. Dengan cara ini pengetahuan dapat
berkembang dan dilestarikan. Sesuatu yang terkadang dianggap sepele oleh
masyarakat kita dengan mengganggap menulis hanyalah sebuah aktivitas
sehari-hari yang sederhana. Padahal menulis menyimpan amat banyak manfaat yang
dikandungnya.
Apa
yang bisa kita lakukan untuk memindahkan pengetahuan dan ilmu yang kita miliki
ke orang lain selain menulis dan berbicara. Hanya dengan dua sarana inilah
manusia sepanjang peradaban melakukan pelestarian ilmu dan pengembangan ilmu
dari zaman ke zaman. Sayangnya sarana berbicara dalam orasi maupun ceramah
tidak dapat bertahan lama karena sifatnya yang bisa didengar hanya saat itu
walaupun kini dengan kemajuan teknologi, bentuk-bentuk penyaluran ilmu dalam
bentuk suara sudah bisa direkam tetapi itu tidak pernah bisa menggantikan peran
tulisan dalam perkembangan keilmuan. Tulisan memiliki sifat yang dapat diakses
kapan pun dan bersifat abadi. Melalui tulisan pun pemikiran-pemikiran orang
besar masih dapat kita baca dan pelajari di masa sekarang karena
pemikiran-pemikiran tersebut diabadikan dalam
bentuk tulisan yang bersifat abstraksi.
Sesuatu
yang tidak bisa terlepas dari aktivitas menulis adalah membaca. Seorang penulis
atau mereka yang menuliskan gagasan-gagasan besarnya sudah pasti adalah seorang
pembaca yang rakus. Membaca adalah saudara kembar menulis. Aktivitasnya sangat
beriringan dan seperti dua sisi mata uang yang sifatnya saling melengkapi.
Bagaimana tidak, kedua komponen ini saling membutuhkan satu sama lain untuk
memperkuat eksistensi dan hakikatnya. Bagaimana mungkin seorang penulis yang
tidak banyak membaca. Konten yang ditulisnya hanyalah sebuah opini pribadi yang
tidak memiliki dasar dan cenderung pandangan subjektif yang apriori dan. Khazanah
pengetahuannya tidak diperlebar dengan membaca sehingga konten yang ditulisnya
“kering” makna. Begitu pula jika seseorang yang banyak sekali membaca tanpa melakukan
aktivitas menuliskan pengetahuan, pandangan dan ilmu yang dia miliki. Semua
makna dan hakikat ilmu itu akan tersimpan dalam kepalanya tanpa perpindahan manfaat
dan hakikat ilmu. Ilmu hakikatnya harus banyak disebarkan agar bermanfaat untuk
kehidupan orang lain dan bahkan umat. Ilmu disebarkan dengan banyak menuliskan pengetahuan
yang kita miliki tersebut. Sehingga orang lain dapat menyerap pelajaran darinya
dan menerapkannya untuk kehidupannya dan untuk masyarakat di sekitarnya.
Keseimbangan antara aktivitas membaca dan menulis akan mengantarkan pribadi
menuju keselarasan peran dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan dunia literasi.
Begitu
banyak tokoh besar terlepas dari ideologi yang digagasnya adalah seorang yang
amat gila membaca dan seorang penulis yang baik. Sebut saja tokoh besar seperti
Mahatma Gandhi, Ibnu Sina, Karl Marx, Voltaire, Moh. Hatta, Hasan Al Bana, BJ
Habibie terlepas dari apa yang digagas dari pemikirannya, mereka adalah seorang
yang gila membaca. Disebutkan dalam biografi mereka kesukaan mereka dalam
menghabiskan waktu kesehariannya untuk membaca dan terus membaca. Lalu
bagaimana mereka bisa mempengaruhi banyak orang sehingga menjadi tokoh besar
yang dikenang jika mereka tidak memiliki kemampuan menulis yang baik. Mereka
semua beserta banyak tokoh yang tidak disebutkan di sini adalah para penulis
handal yang karyanya dapat mempengaruhi banyak orang dan membentuk pikiran
banyak orang sehingga tak jarang tokoh besar melalui tulisan karyanya ia bisa
menggerakan banyak orang melalui sebuah pergerakan yang bisa menggulingkan
pemerintahan atau membuat ideologi dasar suatu pemerintahan. Semua itu dicapai
hanya dengan menuliskan pemikirannya. Sehingga tidak berlebihan jika ada
pepatah yang mengatakan “Mata pena lebih tajam daripada pedang.” Kurang lebih
seperti itu pepatah tersebut.
Renungan
kecil tentang manfaat besar membaca dan menulis ini mungkin tidak akan membawa
manfaat ketika dilakukan dalam kapasitas seorang diri. Tanpa ada sebuah gerakan
bersama membentuk kesadaran akan pentingnya dua hal sederhana dalam keseharian
kita. Apapun kapasitas dan peran kita dalam masyarakat kedua elemen ini tidak
boleh terlepas bahkan terabaikan. Meminjam istilah penulis favorit saya Gol A
Gong dalam bukunya “Gempa Literasi”, Seseorang yang bergelut dalam dunia baca
tulis dan menularkan semangat ini pada orang lain disebut pejuang literasi.
Mungkin istilah itu yang tepat untuk menggambarkan peran ini. kenapa menjadi
pejuang literasi menjadi penting dalam setiap ranah kehidupan, apapun kapasitas
kita dan keahlian kita, aktivitas membaca dan menulis tidak boleh terabaikan ?
Karena budaya literasi adalah sebuah “ruh” penggerak dan yang mengiringi setiap
jengkal kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Mari kita telusuri dalam
banyak aspek kehidupan. kemajuan yang terjadi di dalamnya tidak bisa lepas dari
pengaruh kemajuan literasi. Dalam dunia medis, terobosan dalam metode
pengobatan terjadi karena kemajuan ilmu dan teknologi. Kemajuan ini tidak lepas
dari peran literasi yang mendokumentasikan tiap jengkal kemajuan keilmuan dalam
sebuah jurnal yang dapat dipelajari oleh generasi penerusnya dan dijadikan
sebagai dasar untuk pengembangan keilmuan. Tentu hal seperti ini juga dengan
mudah kita temukan contoh dalam bidang keilmuan yang lain.
Menulis berarti menciptakan sesuatu, bisa berupa novel yang
bersifat fiksi ataupun karya ilmiah yang non-fiksi. Menulis artinya membuat
hidup kita produktif. Karena kita bisa menghasilkan sebuah karya yang dibaca
oleh orang lain.
Menjadi produktif dengan menulis kenapa menulis disebut
aktivitas yang produktif, padahal dengan menulis kita tidak menghasilkan sebuah
produk fisik dalam arti yang sesungguhnya. Tetapi kenapa menulis tetap disebut
aktivitas yang produktif?
Jika kita hanya mengartikan "produktif" sebagai
sebuah bentuk kegiatan yang menghasilkan benda nyata dan mengaitkannya dengan sayamulasi
benda nyata tersebut. Menulis akan membuat kertas tetap menjadi kertas secara
konteks fisik tetapi tidak dalam konteks makna. Tetapi jika kita menggeser
paradigma benda fisik tersebut dalam kaitannya dengan kata produktif dengan
menjadi paradigma manfaat dan nilai guna dalam masyarakat, maka tak heran dan
sangat meyakinkan bahwa menulis adalah aktivitas yang produktif. Bahkan sangat
produktif. Ditinjau dari segi production cost atau "biaya produksi".
Menulis dengan nalarnya, manusia bisa menghasilkan sebuah
penuangan kapasitas intelektual, pengalaman, dan seni pribadi manusia tersebut
ke dalam sebuah bentuk karya yang bisa secara universal dibaca, didengar,
diapresiasi, dikritisi bahkan dimanfaatkan kontennya dalam rangka perkembangan
peradaban manusia dalam konteks luas. Dengan tulisannya manusia memproduksi
kekayaan intelektual. Sebuah sumbangsih yang bisa dilsayakan oleh tiap manusia
bahkan jika mereka tidak memiliki apapun.
Dengan tulisan, manusia mampu memobilisasi minat, inspirasi,
gagasan dan harapan orang lain sesuai dengan konten yang ditulisnya. Maksudnya
dengan tulisan, manusia bisa mempengaruhi orang untuk berpikir, bersikap dan
bertindak tanpa harus bertemu dan bertatap muka. Bukankah itu adalah hal yang
menakjubkan? Dan bukankah jika ide dan
pemikiran tersebut menggerakkan ribuan bahkan jutaan orang untuk bersikap dan
bertindak menuju ke hal yang positif dan membawa manfaat adalah merupakan hsl
ysng produktif.
Jika boleh berandai-andai, seorang motivator pengembangan
diri yang menulis tentang etos kerja yang baik dan motivasi dalam melsayakan
pekerjaan terbaik yang diberikan oleh karyawan akan mempengaruhi banyak orang
untuk memiliki semangat kerja dan berkarya secara masif dan luas yang tentunya
resultan dari fenomena ini adalah perkembangan produktifitas dalam berbagai
dimensi kehidupan salah satunya yang paling jelas adalah perkembangan ekonomi.
Dari fenomena kecil tersebut, terlihat salah satu contoh
betapa produktifnya aktivitas menulis. Produktifitas tersebut akan lebih
signifikan ketika banyak orang yang menulis dan berkontribusi dalam bidangnya
masing-masing untuk perkembangan peradaban. Saya menggunakan istilah peradaban
untuk mewakili kompleksitas dimensi aspek kehidupan manusia yang dapat dengan
signifikan dipengaruhi oleh keberdaan tulisan-tulisan.oleh karena itu saya
menggantinya dengan kata "peradaban". Terlihat ciri berpikir induktif
sekilas.
Ternyata itu bukan hanya terjadi pada bidang ekonomi seperti
yang sudah dibahas. Hal ini juga berlsaya di bidang kehidupan yang lain. Dengan
kata lain penbaruhnya signifikan untuk peradaban. Mungkin hal ini terlalu
abstrak dan umum. Tetapi saya disini tidak bermaksud untuk membahas hal yang
detil dan teknis tetapi cukup di tataran kontekstual saja. Maafkan kekurangan
pemahaman saya ini.
Sebagai penutup dan ingin juga disampaikan di sini adalah fakta bahwa menulis juga mencerdaskan.
Karen Amstrong dalam bukunya yang berjudul Compassion menyatakan menulis juga
mencerdaskan. Kenyataannya memang begitu, setidaknya ada dua kecerdasan yang
terlatjh dengan aktivitas menulis menurut Karen Amstrong yaitu kecerdasan
intapersonal danl linguistik. Ya, kombinasi kecerdasan fundamental manusia yang
bersifat ekspresif dan kontemplatif.