Thursday, March 12, 2015



Hak Pasien dalam Pelayanan Kesehatan 
(Sebuah Renungan)



Oleh : M. Rizky Hendiperdana

Tulisan ringan ini dibuat berangkat dari sebuah renungan dan keprihatinan pribadi terhadap apa yang dewasa ini sering terjadi dan kulihat dalam keseharian pelayanan kesehatan di Indonesia baik di RS ataupun di sarana kesehatan lainnya. Keprihatinan ini adalah tentang menurunnya kualitas interaksi yang terjadi dalam praktik layanan kesehatan. Kualitas interaksi tersebut dilihat dalam konteks interaksi yang saling menghargai dan menghormati baik antara pihak pasien dengan tenaga kesehatan maupun antar sesama tenaga kesehatan.
Kita semua sangat memahami bahwa dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang berkualitas amat sangat bergantung dari sisi sumber daya manusianya. Dalam hal ini tenaga kesehatan baik dokter, dokter gigi ,perawat, tenaga farmasi, terutama yang berhadapan langsung dengan pasien tentu memiliki peran sentral yang menentukan kualitas sebuah layanan kesehatan. Disamping faktor pembiayaan kesehatan dan teknologi kedokteran yang menyertainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam melaksanakan profesinya sebagai seorang manusia, pasti sangat bergantung dari suasana psikologis batinnya. Ketika ada suatu hal yang mengganggu kenyamanan psikologinya dalam menjalankan profesinya, hal itu akan menjadi sesuatu yang kontra-produktif terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Sangatlah wajar jika kita perlu menengok sejenak aspek kenyamanan psikologis dalam profesi kesehatan ini secara khusus.
Memang sudah merupakan risiko dari sebuah pekerjaan yaitu adanya beban kerja yang harus dipikul. Beban kerja tersebut seyogyanya harus yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi dari tenaga kesehatan tersebut. Sangat ironis rasanya ketika sering dihadapkan pada sebuah realita dimana seorang tenaga kesehatan juga harus menanggung hal–hal yang berada di luar jangkauan tanggung jawabnya, ditambah lagi dengan krakteristik masyarakat yang sudah mulai berubah akibat adanya beberapa perubahan dalam segala dimensi, salah satunya kemajuan teknologi informasi.
Masyarakat kini lebih senang bersikap kritis yang cenderung berlebihan. Mengapa demikian, karena konsumen atau pengguna layanan kesehatan lebih cenderung bersikap “kasar” secara psikologis, yaitu menunjukkan sikap-sikap yang kurang layak untuk ditunjukkan oleh orang yang terdidik seperti memaki, berbicara dengan nada tinggi, berteriak kasar dsb kepada petugas kesehatan apapun profesinya. Tentunya kita semua perlu mencermati bahwa kembali lagi dibahas seperti yang dijelaskan awal, petugas kesehatan adalah seorang manusia yang harus dijaga dan dihormati perasaan, hati dan martabatnya. Terlebih lagi saat tindakan-tindakan tersebut dilakukan di depan umum/khalayak. Ketika perasaan seorang tenaga kesehatan sudah terganggu dengan apa yang dilakukan terhadapnya sudah barang tentu fokus dan konsentrasinya akan terganggu dan hal ini pada akhirnya hanya akan merugikan pasien.
Segala kecederungan perilaku konsumen kesehatan dewasa ini seperti yang disebutkan di atas berawal dari sebuah perubahan tren yang terjadi dalam hubungan terapetik antara pasien dan tenaga kesehatan. Pergeseran ini merubah pola komunikasi dan interaksi terapetik dari vertikal-paternalistic menjadi horizontal-kemitraan. Pola hubungan ini berubah dari yang dulu pasien berada di bawah posisinya dibanding tenaga kesehatan dalam hal komunikasi terapetik, sehingga pasien hanya tinggal terima saja terhadap apa yang akan diberikan terhadapnya dan pasien tidak perlu banyak bertanya tentang keadaannya, percayakan semuanya pada petugas kesehatan (dokter). Pola itu berubah kini menjadi hubungan yang lebih sejajar atau hampir sejajar. Kini pasien lebih menyadari hak-haknya yang pada zaman dulu tidak difasilitasi seperti hak atas informasi terkait dirinya dan hak atas menentukan nasib sendiri. Sebenarnya dalam keseharian hubungan terapetik pasien-dokter sangat banyak terdapat hak dan kewajiban yang melekat pada keduanya. Namun pada kali ini penulis akan lebih menfokuskan terdapat dua hak pasien yang paling mendasar ini.
Sistem pelayanan kesehatan pun mengakomodasi hak-hak tersebut dengan memberlakukan beberapa prosedur seperti pengajuan tersetujuan tindakan medik atau informed consent dalam bahasa inggrisnya, yang dilakukan sebelum ada sebuah tindakan medis  berisiko yang akan dilakukan terhadap pasien. Hal ini tentunya mendahulukan pemberian informasi lengkap terkait prosedur tersebut kepada pasien. Oleh karena itu istilah dalam bahasa inggrisnya yaitu informed consent akan lebih tepat jika dikaitkan dalam konteks ini. Karena dalam penggalan kata informed dan consent, terdapat komponen “informed” yang secara harfiah artinya memberi informasi atau penjelasan. Sedangkan komponen “consent” artinya memberi persetujuan atau persetujuan. Oleh karena itu secara kontekstual informed consent memberi pemahaman yang berarti sebuah persetujuan setelah adanya penjelasan seperti yang tercantum di dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat 1 dan 2. Dalam konteks ini pasien atau keluarga pasien  berhak menerima informasi yang kiranya penting terkait apa pun yang akan dilakukan terhadap dirinya atau keluarganya sebelum memberikan persetujuannya secara tertulis.
Disebutkan di atas bahwa pola hubungan dokter-pasien adalah hampir sejajar bukan sama-sama sejajar posisinya. Hal ini diartikan bahwa dalam hubungan tersebut pasien bukan serta merta dapat menentukan segala sesuatu yang sesuai keinginannyas sendiri, seperti memilih terapi yang tidak disarankan bahkan sampai mengendalikan jenis-jenis obat yang ingin didapat di luar saran dokter. Hal ini berbicara tentang hak pasien dalam menentukan nasib sendiri tetaplah dibatasi oleh koridor kemandirian profesi kesehatan. Sehingga perlu dipahami bahwa hak atas menentukan nasib sendiri bukan berarti hak mutlak terhadap jenis pengobatan apa pun yang ingin pasien dapatkan layaknya dalam transaksi jual-beli biasa.
Hal lain terkait hak atas informasi medis, tidak semua informasi terkait penyakit pasien harus diberikan kepada pasien, informasi yang terlalu mendetil tentang penyakitnya hanya akan membuat pasien bingung dan bagi tenaga kesehatan hal itu terlalu membuang waktu untuk menjelaskan hal yang terlalu mendetil, seperti mekanisme mendetil proses penyakit, mekanisme selular, reaksi biokimia, dll. Pasien berhak mendapatkan informasi medis terkait dirinya hanya yang dianggap perlu untuk pasien saja dan tentu dianggap penting. Jadi sebuah kenyataan pasien berhak atas informasi penyakitnya tetap dibatasi oleh hal-hal yang perlu diketetahui pasien seperti diagnosa, rencana pengobatan, risiko pengobatan atau tindakan, alternatif pilihan pengobatan, risiko terburuk jika tidak diobati, komplikasi yang mungkin timbul, prognosis ke depan, dll seperti yang tercantum dalam Pasal 45 ayat 3 Jo Pasal 52 (a) UU Praktik Kedokteran yang semuanya memiliki hubungan langsung dan ada kaitannya untuk pasien bukannya informasi membabi buta yang melimpah dan terlalu mendetil yang tidak memiliki sangkut pautnya terhadap kondisi pasien.
Hal ini perlu diutarakan, sebab ketika tenaga kesehatan disibukkan fokus dan waktunya pada hal-hal yang kurang penting seperti melayani pemberian informasi yang terlalu mendetil pada pasien, ini akan menurunkan kualitas layanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan tersebut. Bahkan hal yang menjadi esensi dalam hal pelayanan kesehatan akan terbengkalai yang pada akhirnya akan merugikan pasien juga.
Kedua hal yang disebut di atas, yaitu hak pasien untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi tentunya harus dilihat secara bijak oleh kedua pihak baik pemberi layanan maupun pengguna layanan kesehatan dan tetap harus berada  pada koridor yang seharusnya. Jangan sampai tuntutan yang begitu tinggi terhadap hak-hak tersebut malah akan menurunkan kualitas pelayanan kesehatan. Tentunya di sini pasien atau konsumen pelayanan kesehatan tentu tidak mau dirugikan dengan menurunnya kualitas pelayanan kesehatan.
Perlunya hal tersebut disampaikan karena terdapat sebuah tren yang masif terhadap perilaku konsumen jasa kesehatan yang cenderung melampaui batas dalam penafsirannya terhadap hak-hak pasien. Tentunya hal ini tetap harus dijaga keseimbangannya, jangan sampai tidak seimbang. Di satu sisi tenaga kesehatan tetap harus memperhatikan hak-hak dasar yang melekat pada pasien, jangan sampai pasien terbengkalai hak-hak dasarnya. Di sisi yang satu perlu ada mekanisme kontrol terhadap penuntutan hak-hak pasien tersebut agar tidak melampaui batas dan akhirnya sampai mengganggu kemandirian dan independensi profesi dalam hal ini profesi dokter. Perlu ada kesepahaman dan empati yang ditumbuhkan antar pihak-pihak tersebut agar interaksi terapetik dalam layanan kesehatan di Indonesia tumbuh dalam kerangka yang konstruktif bukan malahan kontra-produktif.

Referensi : - UU No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi