Tuesday, June 21, 2016

Permintaan Pembuatan Visum et Repertum

Oleh : Dr. M. Rizky Hendiperdana


Rujukan :
  - Pasal 133 ayat 1 dan 2 KUHAP
  - Pasal 184 KUHAP 


          Mungkin istilah visum sudah tidak asing lagi di telinga kita. Istilah visum atau lengkapnya Visum et Repertum ( VR)  lazimnya adalah sebuah surat yang secara resmi dikeluarkan oleh pihak tenaga ahli (yang dalam hal ini dokter forensik atau dokter)  perihal pemeriksaan yang dilakukan terhadap luka-luka atau jenazah untuk kepentingan hukum. Jadi surat VR ini memiliki kekuatan hukum di depan pengadilan untuk memperkuat sebuah bukti dalam perkara pidana, misalnya penganiayaan. Di dalam surat VR ini nanti akan tercantum sebuah kesimpulan yang mendeskripsikan bentuk, jenis, beratnya sebuah luka dalam kasus kekerasan misalnya. 

        Tulisan ini akan berfokus pada masalah prosedur permintaan VR karena kasus tindak pidana yang harus diketahui masyarakat perihal langkah-langkahnya. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui langkah-langkah dalam prosedur permintaan VR. Penulis ingin berbagi sedikit kisah yang dialami saat bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah Rumah Sakit (RS) swasta di Bandung. Suatu sore ada orang tua yang datang membawa anaknya dengan keluhan sendi mulut yang tidak bisa digerakkan yang pada akhirnya dia tidak bisa membuka mulut. Menurut orang tuanya, anaknya adalah korban kekerasan seorang temannya di sekolahnya. Anaknya adalah korban pemukulan karena masalah pribadi dengan pelaku. Orang tua tersebut sangat panik dan marah sehingga niatnya untuk membawa perkara ini ke polisi sangat besar. Saking paniknya orang tua tersebut, mereka langsung meminta pembuatan VR pada pihak RS yang pada saat itu ada;ah dokter IGD tanpa surat permintaan dari pihak kepolisian. Kami saat itu sangat mengerti kepanikan dan kemarahan yang dialami oleh keluarga korban untuk menuntut pelaku tindak kekerasan tersebut. Keluarga korban ingin segera pihak RS (dokter) mengeluarkan VR terhadap luka-luka korban dan VR tersebut akan digunakan sebagai barang bukti upaya penuntutan terhadap tindak pidana kekerasan yang terjadi. Di samping itu ada prosedur paten yang harus dipatuhi dalam rangkaian pengeluaran surat VR terhadap seorang korban. Oleh karena itu kami sangat melakukan pendekatan dan penjelasan yang sehalus mungkin pada keluarga korban tentang langkah atau prosedur dalam permintaan VR dari dokter. Akhirya setelah menjelaskan secara detil tentang prosedur tersebut, orang tua korban mengerti dan mengikuti prosedur yang berlaku.  

       Ternyata hal ini bukan terjadi pada orang tua korban yang disebut di atas. Masih banyak masyarakat yang meminta langsung VR ke dokter terhadap luka-luka yang terjadi akibat tindak kekerasan tanpa melapor dulu ke pihak kepolisian. Perlu diketahui di sini RS/ dokter tidak memiliki wewenang dalam mempertimbangkan suatu keadaan pasien ke arah tindak pidana atau bukan. Karena kewajiban tenaga medis hanya menangani keadaan gawat darurat (jika tindak kekerasan) dan menangani keadaan pasien secara medis sampai tuntas. Jika ternyata keadaan/ penyakit yang diderita pasien adalah suatu hasil dari tindak pidana baik kekerasan atau apapun, disitulah wewenang pihak kepolisian dalam meminta sebuah VR terhadap RS/dokter terhadap dugaan adanya tidak pidana tersebut. Dengan kata lain seorang pasien yang berobat dalam keadaan luka-luka, cedera atau apapun yang merugikan ke dokter statusnya adalah pasien. Tanpa memandang adanya unsur pidana. Tetapi jika pasien luka-luka karena tindak kekerasan tersebut sudah melapor kepada pihak kepolisian statusnya akan berubah menjadi korban/ barang bukti yang oleh karenanya dokter harus memeriksa perlukaan tersebut berdasar kaidah keilmuannya dan membuat surat VR guna kepentingan penyidikan kepolisian.

        Dalam pasal 133 KUHAP berbunyi : 

  •   Ayat (1)  Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik                    luka, keracunan ataupun mati diduga karena peristiwa yang merupakan tindak                       pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterengan ahli kepada ahli kedokteran              kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
  •   Ayat (2)  Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara                 tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau                   pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. 

          Dari pasal 133 ayat 1 dan 2 KUHAP tersebut dokter berperan sebagai tenaga ahli yang diminta keterangan berdasarkan keilmuan yang dimiliki terhadap luka-luka akibat tindak pidana untuk memudahkan proses penyidikan dan sebagai alat bukti di depan hakim di pengadilan. Oleh karena itu dalam artikel ini penulis ingin menekankan terhadap pasal 133 KUHAP tersebut. Masyarakat dapat memahami prosedur permintaan VR yang telah diatur dalam UU tersebut. Dalam hal permintaan VR karena kasus tindak pidana kekerasan, korban atau keluarga korban harus melapor ke pihak kepolisian baik Polsek, Polres, Polda terhadap kekerasan yang dialami. Setelah itu pihak kepolisian atas laporan korban akan mengeluarkan surat permintaan pembuatan VR kepada pihak RS yang nantinya pemeriksaan korban dengan detil akan dilakukan disana. Setelah pemeriksaan korban atas permintaan pihak kepolisian nanti akan dikeluarkan surat resmi VR yang berisi deskripsi perlukaan yang mendetil dan kesimpulan yang mengungkapkan derajat luka yang dialami korban dalam menjalani pekerjaan atau jabatan. Sebenarnya konteks VR tidak hanya terbatas pada korban hidup tetapi juga pada jenazah, tetapi dalam konteks kali ini penulis hanya membatasi pembahasan pada korban hidup atau yang disebut dengan forensik klinik. 

           Apa kepentingan Visum et Repertum (VR)

           Dalam suatu perkara pidana, penyidik (dalam hal ini polisi) akan mengumpulkan bukti-bukti yang memperkuat dan membuat terang suatu perkara pidana. Dalam hal mencari siapa pelaku dan membuktikan secara meyakinkan di depan hakim bahwa pelaku tersebut sudah melakukan tindak pidana. Surat VR yang dikeluarkan dokter/RS ini mempunyai nilai bukti yang sah di depan hakim. Seperti bunyi pasal 184 KUHAP Alat bukti yang sah ialah : a)Keterangan saksi; b)Keterangan ahli; c)Surat; d)Petunjuk; e)Keterangan terdakwa.

          Berdasarkan pasal 184 KUHAP tersebut, VR bisa berperan menjadi keterangan ahli dan surat oleh karena itu memiliki nilai bukti yang kuat. Dalam hal memutuskan perkara pidana, hakim minimal harus memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Surat VR ini dapat menjadi salah satu dari dua alat bukti yang dibutuhkan tersebut. Sekian artikel berbaginya, semoga artikel ini bisa sedikitnya memberikan pencerahan dan pemahaman baru untuk pembaca yang budiman tentang prosedur permintaan VR. Mohon maaf jika terdapat suatu kesalahan pengetikan atau penafsiran. Penulis hanya bermaksud berbagi. 

Salam. Selamat pagi !

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hendiperdana/permintaan-pembuatan-visum_551c045fa33311e82bb659f6

Tanggung Jawab Khusus bagi Dokter IGD

Oleh : Dr. M. Rizky Hendiperdana


Golden Rules

1.      Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang teliti akan mencegah adannya dugaan pelayan medis yang di bawah standar
2.      Ketidakcocokan pandangan antara dokter-perawat harus diselaraskan dalam rekam medis.
3.      Analisa faktor risiko dapat membantu dokter dalam mendiagnosa masalah medis yang mendasari.
4.      Mengulang dan mengevaluasi tanda vital abnormal pasien sangat penting untuk mencegah kesalahan medis dan untuk meningkatkan pelayanan berkualitas tinggi yang diberikan.
5.      Pencatatan yang detil mengenai kronologi pasien di IGD, diagnose banding, dan rencana pengobatan adalah bagian penting dalam mencegah malpraktik kedokteran.
6.      Pencatatan kepulangan pasien harus dibuat spesifik dan detil.
7.  Komunikasi, membangun kesan yang baik dengan pasien dan keluarga adalah kunci menghindari ketidakpuasan pasien dan mencegah malpraktik kedokteran.
8.      Mempertahankan kerja sama tim di dalam IGD dengan para staff.
9.      Waspadai bahaya dari pertukaran shift.


Numpang Eksis
Dewasa ini praktik kedokteran sangat sering dikenai isu-isu gugatan malpraktik. Hal ini muncul karena masyarakat kesehatan yang semakin tercerahkan dan merebaknya media sosial bagai cendana di musim hujan, sehingga arus informasi apapun kini tersedia di dunia maya untuk diakses oleh siapapun juga. Akibatnya, dunia kedokteran sangat sarat dengan isu-isu gugatan tentang malpraktik karena masyarakat mulai sadar dan mengetahui akan hak-haknya sebagai pasien. Bagi dokter, ini merupakan tantangan tersendiri bagaimana membentengi diri dengan pengetahuan agar terhindar dari gugatan maupun tuntutan malpraktik medis yang dewasa ini mengintai dalam tiap bidang di profesi kedokteran. Dalam rangka meningkatkan kesadaran dokter atau tenaga medis akan kewajiban dan hak hukumnya, penulis ingin sedikit berbagi tentang tanggung jawab khusus untuk dokter yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat. Karena banyak sejawat dokter umum yang bertugas di lini ini dan merupakan salah satu pelayanan kesehatan di lini terdepan, sehingga penting bagi sejawat untuk memahami seluk beluk tanggung jawab hukumnya. Berikut ini catatan yang dibuat penulis yang dikhususkan untuk sejawat yang bertugas di IGD. Tulisan ini mengambil porsi yang dominan dari buku “Medical Malpractice Survival Handbook” yang dikeluarkan oleh American College of Legal Medicine. Semoga catatan kecil ini dapat memberikan manfaat untuk para sejawat.
Praktik di Instalasi Gawat Darurat (IGD) betapa pun memiliki risiko legal medis bagi dokter yang bertugas. Sebagai contoh di Amerika Serikat ( AS) dokter IGD menempati 53 % dari seluruh tuntutan hukum. Hal ini dipersulit dengan beberapa kondisi seperti dokter IGD tidak dapat membatasi praktiknya ( situasi yang dilematis dalam realitanya) karena ia harus menerima segala situasi dan apapun kondisi pasien yang datang dengan masalah yang tentu beragam. Begitu pasien masuk melalui pintu IGD, secara yuridis dia akan menjadi tanggung jawab seorang dokter IGD.
Pasien yang datang ke IGD berisi kondisi yang beragam mulai dari masalah yang ringan sampai yang mengancam jiwa. Untuk masalah-masalah pasien yang mengancam jiwa dibutuhkan seuatu keputusan yang segera dan dokter hanya memiliki informasi yang terbatas sebagai landasan untuk menegakkan diagnosa, karena keputusan yang ditujukan untuk menyelamatkan nyawa/ life saving lebih menjadi prioritas untuk diambil ketimbang menggali informasi lebih dalam dari keluarga atau pengantar pasien.
Dokter IGD akan dihadapkan pada penundaan pemindahan pasien ke fasilitas yang lebih tinggi seperti ICU, ruang operasi atau ruang perawatan biasa. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal seperti kondisi pasien yang belum stabil sehinga secara klinis belum dapat dipindahkan ke ruangan perawatan karena membutuhkan stabilisasi di IGD.
Dokter di IGD akan selalu berkontak dengan banyak pasien dengan sakit akut. Beberapa diantaranya akan menjalani perawatan di RS dan sebagian dipulangkan dengan catatan akan dievaluasi ulang oleh dokter spesialis saat rawat jalan. Masalahnya begitu nama dokter IGD sudah tercantum di rekam medis pasien, ia mengambil risiko untuk menjadi pihak dalam gugatan atau tuntutan hukum. Pengacara penggugat sering mendaftar seluruh nama dokter yang pernah kontak dengan pasien dalam bentuk apapun. Perkara litigasi malpraktik seringnya merupakan dari hasil buruk yang tidak terduga bukannya dari hasil pelayan medis yang tidak terstandar.
Ketika pasien datang untuk kedua kalinya ke IGD dengan kondisi yang lebih buruk dibanding saat ia dipulangkan, disanalah terdapat dugaan kelalaian medis. Sayangnya hal seperti ini amat sulit untuk diprediksi dan oleh karena itu pencatatan yang teliti dan detil terhadap setiap pasien sangat dimandatkan. Dokter harus mencatata tiap temuan pemeriksaan pada pasien. Pencatatan “dalam batas normal /DBN “ atau “normal” tidak merefleksikan kondisi pasien yang sesungguhnya dan bukan merupakan pelayanan medis yang berkualitas.
Akan selalu ada pakar atau pihak yang menginginkan untuk menunjukkan kekurangan yang dilakukan oleh dokter IGD. Bagaimanapun melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik (PF) yang teliti dan pencatatan yang menyeluruh akan menghasilkan rekam medis yang kuat dari segi hukum. Dalam konteks hukum di Indonesia pencatatan yang teliti dalam rekam medis diatur dalam UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 46 dan 47 dan secara khusus diatur dalam Permenkes No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis.2,3 Sehingga menghasilkan rekam medis yang berkualitas akan meningkatkan kekuatannya dari segi yuridis. Pencatatan ini mungkin dapat menolong dokter terhadap masalah hukum yang dapat timbul di kemudian hari.
Malpraktik medis dapat terjadi, sebagai contoh di Amerika Serikat (AS) 4 % dari pasien infark miokard akut dipulangkan ke rumah dan lebih dari setengahnya jelas memiliki kelainan EKG yang salah diinterpretasikan oleh dokter IGD.
Agar memahami pembahasan lebih mudah, di bawah ini akan disertai ilustrasi kasus yang menggambarkan beberapa point dari masalah yang dibahas.



Ilustrasi Kasus

            Bu Janice Jones seorang wanita berusa 43 tahun datang ke IGD sebuah RS dengan keluhan demam dan nyeri serta linu-linu seluruh tubuh. Dia memiliki riwayat sehari lalu mengalami gejala non-spesifik seperti myalgia, lemas, demam dan menggigil. Pada kedatangan pertamanya dia tidak mengalami keluhan lain. Dokter IGD mencatat detil semua temuan dari gejalanya, termasuk tidak terdapat nyeri dada, sesak napas, mual, muntah, diare, gejala urinasi, dan ruam. Pasien memiliki riwayat medis diabetes dan pneumonia.
            Pada pemeriksaan fisiknya pasien ditemukan mengalami dehidrasi ringan, takikardi dengan nadi 138, tekanan darah 92/60 mmHg, dan suhu 101.3 F, respirasi 23 kali dan saturasi oksigen 98 %. Dia terlihat sadar penuh, tetapi menunjukkan respon yang lambat pada pertanyaan. Pemeriksaan paru-paru, perut dan dada dicatat sebagai “normal”. Saat ia masih di IGD, dia mendapat infus 2 liter cairan salin. Dia memiliki hasil urinalisa yang normal dan pemeriksaan gula darah sewaktu kapiler 212 mg/dL. Dia menyatakan kondisinya lebih membaik pada perawat IGD dan didiagnosa dengan rawat jalan sebagai penyakit infeksi virus. Intruksi rawat jalan diberikan padanya dengan catatan dia harus kembali ke IGD jika mengalami nyeri perut, demam tinggi, dan buang air kecil yang sedikit. Jika dia tidak mengalami perbaikan dalam 2-3 hari, dia disarankan untuk kontrol ke dokter keluarganya.
            Bu Jones kembali ke IGD kurang lebih 12 jam dan diperiksa oleh dokter IGD yang lain. Tekanan darahnya 60/palpasi. Dia mengalami penurunan kesadaran. Dokter IGD segera mempersiapkan untuk melalukan intubasi and setelahnya melakukan intubasi pada pasien dengan lancar. Dia memiliki hasil xray dada yang normal. Pemeriksaan darahnya menunjukkan leukosit 27.000. pemeriksaan urinalisa normal dan elektrolitnya menunjukkan asidosis ringan. Glukosa darah sewaktunya 180 mg/dL. Kemudian dia langsung diterapi dengan antibiotic dan steroid kemudian dirawat di ICU. Sayangnya, walaupun sudah dengan terapi resusitasi cairan yang agresif, dopamine, dan penggunaan ventilator mekanik, sepsisnya memburuk dan akhirnya pasien meninggal. Ibu dan anak pasien membawa kasus ini pengadilan dan menuntut rumah sakit, perawat, dan dokter IGD atas tuduhan kelalaian mereka dalam mendiagnosa dan memberikan penanganan yang tidak maksimal pada sepsis bu Jones pada saat kedatangan pertama ke IGD.



Masalah

            Pada banyak kasus, gagal mendiagnosa sepsis merupakan sebuah tema berulang. Pasien yang datang apakah dengan penurunan kesadaran atau temuan samar pada PF yang tidak diidentifikasi sebagai ancaman oleh dokter IGD. Contoh, pada kasus ini takikardia dan penurunan tekanan darah pada pasien tidak merepresentasikan dehidrasi melainkan shock sepsis. Kunci dalam mendiagnosa sepsis secara dini adalah mengenal tanda vital abnormal yang samar atau temuan lain yang inkonsisten dengan diagnose yang dipikirkan.
            Perkara hukum terkait sepsis sering memperkarakan hal lain, yaitu penundaan terapi antibiotik. Ketika sepsis masuk dalam daftar diagnose banding, dokter harus mempertimbangkan penggunaan antibiotik sesegera mungkin. Setiap jam penundaan antibiotik akan meningkatkan mortalitas sebesar 7 % sehingga dokter tidak perlu menunggu konfirmasi hasil laboratorium atau penunjang lain untuk memulai terapi antibiotik. Dokter IGD harus mengambil inisiatif untuk memulai antibiotik pada pasien dengan dugaan kuat ke arah sepsis.4
            Malpraktik medis yang melibatkan dokter IGD secara umum mengikuti premis teori kelalaian. “Dalam rangka membuktikan kelalaian, pasien atau penggugat harus membuktikan bahwa dokter memiliki tanggung jawab pada pasien, kemudian dia melalaikan tugas/ tanggung jawabnya, kemudian ada sebab langsung atau kelalaian itu secara nyata menyebabkan langsung cedera dan terakhir harus terdapat suatu kerugian”. Di AS, sejak 1986 the Emergency Medicine Treatment and Active Labour Act (EMTALA) telah memberikan perlindungan dari pemerintahan federal untuk pasien.
            Pakta ini memandatkan semua pasien mendapat medical screening yang cukup untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi medis yang berbahaya. Jika ditemukan kondisi medis yang berbahaya pasien harus distablisasi atau dirawat untuk mendapat pelayanan medis yang dibutuhkan pasien. Beberapa pengacara yang curang di AS menggunakan doktrin EMTALA ini untuk gugatan kelalaian medis yang ditujukan terhadap dokter IGD.
            Kondisi di atas adalah kondisi yang tergambar di AS. Lalu bagaimana implementasi di Indonesia? Dengan beberapa faktor seperti plafon BPJS di IGD. Apakah doktrin ini dapat terlaksana dan diterapkan juga di Indonesia? Dimana coverage biaya yang diberikan pada pasien IGD berjumlah Rp. 150.000,00 untuk setiap pasien dan setiap jenis kasus.4 Bagaimana screening terhadap hal-hal yang mengancam jiwa dapat dilakukan dengan keterbatasan itu.
Berbagai faktor dapat memainkan bagian dalam misdiagnosis. Yang paling sering adalah faktor dokter gagal mendapatkan dan/atau mencatat anamnesa dan PF yang detil dari pasien. Yang lebih jarang adalah dokter memiliki pengetahuan yang minim terkait kondisi-kondisi yang mengancam jiwa. Pada contoh kasus di atas, pasien nyatanya memiliki riwayat pneumonia dengan sepsis. Dokter tidak melakukan pengecekan kembali terhadap riwayat penyakit dari rekam medis pasien  atau mencari riwayat sepsis dari pasien atau keluarga.
Pengacara penggugat menduga hal tersebut merupakan pelayanan yang tidak standar. Mereka menganggap kegagalan dokter mendeteksi sepsis menunda diagnose dan menyebabkan kematian pasien. Oleh karena itu penting pagi dokter untuk mencatat kunci dasar dari riyawat penyakit saat ini yaitu karakter, onset, lokasi nyeri, radiasi nyeri, kondisi yang memperberat dan kondisi yang meringankan gejala. Faktor risiko untuk penyakit jantung koroner, emboli paru atau pun sepsis dapat membantu untuk menegakkan diagnosis dalam kasus yang sulit. Seringnya, analisa terhadap faktor risiko tidak dicatat dalam rekam medis. Penggabungan dari analisa faktor risiko dan anamnesa rutin di IGD mungkin dapat membantu menegakkan diagnosa yang layak.
Terkait dugaan adanya kelalaian dalam melakukan PF yang baik, lagi-lagi, elemen penting dari PF biasanya tidak ditulis. Sehingga menimbulkan asumsi bahwa PF tersebut tidak dilakukan. Ini meletakkan beban pada tergugat dalam membuktikkan bahwa pemeriksaan detil sudah dilakukan. Tujuan dari rekam medis adalah sebagai sarana komunikasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai tindakan atau terapi yang sudah diberikan. Rekam medis harus akurat menunjukkan kondisi pasien, keluhan, diagnosa, terapi yang telah diberikan dan rencana lanjut. Melalui pencatatan yang baik, ini semua dapat tersampaikan antar tenaga kesehatan dengan kesalahpahaman yang minimal. Sangat disarankan pula menyertai jam dan tanggal pada rekam medis. Dan dokter dilarang untuk merubah isi status rekam medis di waktu yang berbeda.

Pada saat pasien diberi pengobatan, perbedaan/ketidakcocokan antara catatan dokter dan catatan perawat harus diselaraskan. Ketidakcocokan tersebut memberikan kepada pihak pengacara penggugat potensi bukti pelayanan yang tidak standar. Disarankan dokter IGD membaca catatan pre-hospital, catatan triage, dan catatan perawat penanggung jawab pasien. Perbedaan yang siginifikan harus dikaji dan dikoreksi sebelum pasien dipulangkan atau dirawat. Lebih jauh lagi segala tindakan dan bahasa yang melenceng dan kasar dari pasien harus dicatat. Yakinkan bahwa segala tindakan agresif dan mengancam harus dicatat dan menghubungi pihak keamanan jika dibutuhkan.
Pasien yang tidak puas harus menjadi perhatian oleh management dan wakil direktur bidang pelayanan medis. Jika pasien atau keluarga mengancam untuk menuntut, ini juga harus dicatat dalam rekam medis pasien yang bersangkutan. Pastikan bahwa pencatatannya faktual, spesifik, dan tidak menghakimi.
Dugaan lainnya yang sering menyertai dalam tuntutan pada dokter IGD adalah ketidakmampuan dalam meminta atau menginterpretasi hasil penunjang medis. Pencara penggugat akan mendapat keuntungan dari rekam medis jika hal ini terjadi. Hal ini bukan berarti bahwa dokter harus “membom” pasien dengan segala pemeriksaan penunjang medis atau meminta pemeriksaan penunjang hanya dengan tujuan defensive medicine. Sementara dugaan tersebut sering menyertai tuntutan kelalaian medis, pemeriksaannya mungkin tidak memiliki efek terhadap hasil akhir pasien. Terdapat banyak literature yang dipercaya untuk mendukung penerapan teori berbasis bukti (evidence-based) untuk menentukan dan memilih pemeriksaan penunjang yang tepat. Bagaimanapun jika dokter memesan pemeriksaan penunjang medis dan hasilnya abnormal, dia harus mencatat kelainan tersebut dalam rekam medis pasien.
Dalam kasus Bu Jones, kelalaian dalam mendiagnosa adalah dugaan yang paling sering. Ketika dia datang kembali 12 jam kemudian dengan kondisi penurunan kesadaran dan peningkatan leukosit, gambarannya sesuai dengan sepsis. Standar pelayanan tidak dapat diukur berdasar pada diagnosa akhir atau kondisi dan pemeriksaan terkini. Tetapi standar pelayanan harus diukur berdasarkan fakta yang didapat pada saat kedatangan pertama pasien. Jika menelaah lebih teliti pada kunjungan pertama, ini akan mengarah ke sepsis. Pasien mengalami hipotensi dan takikardi tanpa sumber yang jelas. Ini sangat mengarah ke sepsis. Kurangnya pemeriksaan ulang tanda vital dan pencatatan pada observasi bu Jones saat di IGD membuat kasusnya lebih sulit untuk dibela.
Yang terakhir pada kasus bu Jones. Pengacara penggugat menduga adanya kelalaian dalam mengobati sepsis. Tuduhan ini berkaitan denga kelalaian dalam mendiagnosa. Bagaimanapun, sangat jelas tidak mungkin untuk mengobati suatu diagnosis yang mana kondisi tersebut tidak disadari oleh dokternya. Tuduhan kelalaian dalam mengobati mengasumsikan bahwa andai bu Jones diobati lebih awal, hasil akhirnya akan menjadi berbeda.
Saat pasien direncakanan untuk pulang/rawat jalan, instruksi rawat jalan yang detil harus diberikan kepada pasien. Seperti pada kasus ini, instruksi untuk follow-up kekurangan elemen penting. Instruksi untuk bu Jones sederhana mengatakan dia harus kembali jika mengalami nyeri perut, demam tinggi dan buang air kecil yang sedikit. Dia juga diberitahukan untuk memeriksa ke dokter keluarganya dalam 2-3 hari jika tidak ada perbaikan. Walaupun begitu, pengacara penggugat menduga instruksi rawat jalan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan, walaupun sepertinya apapun bentuk instruksi rawat jalan yang diberikan tidak akan banyak membuat perbedaan.
Sangat penting untuk instruksi rawat jalan secara jelas menyatakan tanda dan gejala yang harus diwaspadai, kapan harus kontrol, dan alasan untuk kembali ke IGD. Ketika pasien menghubungi IGD dengan keluhan yang semakin memberat, petugas harus memberikan arahan untuk pasien kembali ke IGD untuk dievaluasi ulang. Pada akhirnya, follow-up yang teliti mungkin akan mencegah kejadian medis yang berbahaya.



Strategi Penanggulangan

            Pertama-tama, adalah penting bahwa anamnesa dan PF yang detil dan teliti untuk dilakukan oleh dokter. Rekam medis “pintar” dapat membantu mengingatkan dokter pertanyaan terkait faktor risiko dan gejala yang berhubungan selain mengidentifikasi tanda vital yang abnormal. Rekam medis ini apakah kertas atau elektronik mengandung kolom yang dapat membantu dokter mengingat detil-detil yang penting terkait pelayanan medis yang berkualitas. Penting pula rekam medis “pintar” menyertakan data tanda vital terakhir sesaat sebelum pasien akan pulang.
            Kemudian audit internal dari RS terhadap berkas rekam medis dengan feedback individual terkait perilaku pencatatan rekam medis yang buruk, mungkin dapat membantu mengurangi angka gugatan hukum yang potensial. Terkait tanda-tanda vital yang abnormal, IGD harus memberlakukan monitor dan menentukan seberapa sering tanda vital yang abnormal tersebut di eveluasi ulang. Ini dapat menjadi sistem yang dilakukan dan dapat mencegah kerugian signifikan pada pasien dan mengurangi kasus gugatan.
            Rekam medis elektronik harus memiliki kemampuan memperingatkan apakah perawat dan dokter bahwa pasien IGD dipulangkan dengan tanda vital abnormal. Fasilitas-fasilitas itu tanpa sistem elektronik harus menggunakan cara yang baik untuk mengingatkan petugas memeriksa kembali tanda vital yang abnormal sebelum berencana memulangkan pasien.
            Perlu diingat, sebuah catatan atau dokumentasi bahwa dokter telah mengevaluasi tanda vital terakhir sebelum pasien dipulangkan mungkin dapat menolong atau mengurangi kasus kelalaian medis yang terkait dengan tanda vital. Pada akhirnya, penyuluhan pada seluruh petugas termasuk teknisi dan perawat akan membantu untuk mendeteksi tanda vital pasien yang abnormal.
            Sistem yang terkomputerisasi untuk pasien pulang yang menyimpulkan gejala apa yang harus diwaspadai agar pasien datang ke IGD adalah jauh lebih baik ketimbang keterangan tertulis. Selalu perkenankan pasien untuk kembali ke IGD jika terjadi perburukan gejala. Pastikan bahwa petugas medis mendiskusikan instruksi rawat jalan dengan pasien atau keluarga untuk menghindari kerancuan informasi. Jenis komunikasi seperti ini akan meningkatkan kepuasan pasien dan pemahaman tentang diagnosa mereka dan kapan mereka harus kembali ke IGD.
            Penelitian membuktikan dengan meningkatkan kualitas komunikasi dokter-pasien akan menurunkan angka tuntutan malpraktik medis. Ada beberapa tahap mudah dalam konteks upaya meningkatkan kepuasan pasien dalam komunikasi dokter-pasien. Pertama, anamnesa dan pemeriksaan fisik yang detil dan menyeluruh akan memberikan kesan pada pasien bahwa pemeriksaan yang kompeten telah dilakukan oleh dokter. Kedua, membangun kesan yang baik dengan pasien dan keluarga dengan cara memberikan informasi yang terbaru terkait hasil lab, evaluasi radiologi, dan perkiraan waktu tunggu. Terakhir, saat diagnosis ditegakkan, dokter harus menyediakan waktu untuk menjawab pertanyaan terkait diagnosis dan rencana terapi serta alasan apabila akan merawat atau memulangkan pasien.
            Ada beberapa kondisi medis yang berisiko tinggi dimana dokter dituntut mengambil perhatian yang lebih. Salah satunya adalah kondisi jantung seperti angina pectoris atau infark miokard, diseksio aorta, emboli paru akut, anak dengan demam (terutama lalai dalam mendiagnosa meningitis dan sepsis), appendicitis yang terlewat, dan benda asing dalam luka.
            Terdapat bahaya yang potensial untuk pasien saat tenaga kesehatan menjadi terlalu lelah karena shift yang panjang dan tidak teratur. Kondisi ini harus dihindari sedapat mungkin. Perhatian khusus saat pergantian shift dan proses pengambil alihan pasien harus dilakukan oleh dokter yang selesai maupun yang akan memulai shift. Komunikasi harus dibuat akurat. Miskomunikasi sering terjadi pada waktu-waktu ini. Oleh karena itu perhatian lebih harus diberikan pada waktu pergantian shift.
            Direkomendasikan bahwa dokter yang akan memulai shift untuk mengevaluasi secara mandiri. Evaluasi mandiri ini mungkin memberikan kesempatan untuk menemukan diagnosa yang dilewatkan pada shift sebelumnya. Dokter harus mencatat seluruh kejadian penting yang terjadi dalam satu shift tersebut untuk menjamin ingatan yang lebih akurat. Jangan menunggu sampai diakhir shift untuk mencatat kejadian-kejadian penting selama shift berlangsung.
            Dokter IGD akan berinteraksi dengan berbagai dokter dan konsultan selama menjalankan shift dalam melayani pasien. Sangat penting bahwa isi pembicaraan telepon antara dokter dan konsultan dicatat dengan baik di dalam rekam medis. Ini dapat membantu pula, jika waktu dan jam saat interpretasi hasil lab dan konsultasi juga dicatat.
            Sulitnya, pelayanan medis adalah pelayanan non-stop selama 24 jam sehari selama 7 hari dalam seminggu. Dokter IGD juga menyadari risiko tinggi pada pasien yang datang saat akhir pekan atau liburan dikarenakan adanya potensi penundaan expertise hasil penunjang atau prosedur yang harus dilakukan oleh dokter spesialis/ konsultan.
         Terakhir, mempertahankan iklim kerjasama di IGD dengan seluruh petugas yang ada dan dengan departemen lain akan meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.




Referensi :
1.      Hubler, R James, et al, Medical Malpractice Survival Handbook : Emergency Medicine Liability. P 383-391. Mosby Elsevier (2007)
2.      UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
3.      Permenkes No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis
4.      BPJS

5.      Moore PJ, et al, Medical Malpractice : The Effect of Doctor-Patient Relations on Medical Patient Perception and Malpractice Intentions. West.J.Med.173 : 244 (2000).