Friday, May 31, 2013

Sepercik Inspirasi dari kang Hermawan Aksan

Oleh : Hendiperdana
Ayo dong kita menulis cerpen!” Seolah-olah itu yang keluar dari mulut buku ini  jika dia bisa berbicara. Menulis cerpen dapat menjadi jalan awal atau batu loncatan bagiku untuk menapaki karya-karya lainnya. Karena sampai sejauh ini karya cerpen masih dinilai karya yang paling “mudah” untuk dibuat dibanding karya-karya lainnya. Oleh karena itu dalam rangka usahaku menjadi seorang penulis yang baik, cerpen akan menjadi pilihan saya untuk memulai berkarya. Semoga tetap istiqamah, konsisten dan kuat untu terus berkarya.

Hari ini aku meminjam buku dari perpustakaan daerah Jawa Barat, kebetulan perpus ini letaknya tak jauh dari rumahku. Hanya beberapa meter saja. Beruntungnya aku. Perpustakaan sebesar ini dan koleksi bukunya yang amat banyak dan lengkap berjarak hanya beberapa langkah dari rumahku. Buku yang kupinjam itu berjudul Proses Kreatif Menulis Cerpen karya Hermawan Aksan. Aku sangat berterima kasih pada pengarangnya karena melalui karyanya dia memompakan semangat baru untuk terus berkarya dalam menulis ke jiwaku.

Apa yang mau ditulis dalam hamparan kertas putih kosong tanpa goresan? Bagaimana caranya menyulap kertas kosong yang tanpa makna menjadi goresan-goresan tulisan yang mengandung banyak makna tergantung yang menafsirkan.

Baiklah, kita akan mulai segala aktivitas menulis ini dengan mencoba membuat karya cerpen. Sebelumnya apa cerpen itu? Dalam buku karya Hermawan Aksan yang disebut di atas, perbedaan yang mencolok antara cerpen dan novel adalah terletak pada sorotan konfliknya. Kalau cerpen tokoh sentralnya hanya satu dan alur konfliknya juga satu. Novel memiliki alur yang lebih kompleks dalam ceritanya dan tokohnya lebih banyak yang mengisi alur dalam sebuah cerita, bisa saling bersinggungan satu sama lain dalam salah satu bagian cerita. Intinya cerpen lebih sederhana dalam penggambaran alurnya.

Menurut buku Hermawan Aksan (yang menjadi pengetahuan baru untukku) sebuah cerpen yang baik hanya membutuhkan tiga unsur di dalamnya ( bukan struktur). Unsur itu adalah tema, alur dan karakterisasi tokoh.
Kalau masalah tema beliau menyarankan sebuah cerita pendek harus memiliki sebuah tema utama yang menggambarkan keseluruhan isi cerpen itu. Nah, kalau sebuah cerpen temanya tidak jelas, itu sama saja dengan berjalan di kegelapan tanpa tahu arah dan tujuannya, Kata Hermawan Aksan. Betul juga, setelah kubaca beberapa contoh cerpen dalam buku karyanya itu, memang cerpen-cerpen itu masing-masing memiliki tema atau “ruh” yang ingin disampaikan melalui alur cerita dan karakter tokoh-tokohnya. Kebanyakan temanya berkisar antara kebijaksanaan hidup, pelajaran hidup, dan isu sensitif sosial kemasyarakatan. Penyampaian melalui cerita ini tidak berkesan menggurui walaupun inti yang ingin disampaikan sebenarnya adalah sebuah “pelajaran”.

Lalu bagaimana dengan alur? Tentu saja alur adalah unsur yang tidak kalah pentingnya. Bagaimana cerita ini bisa memberikan penggambaran logis dan kronologis kalau tidak memiliki alur di dalamnya. Untuk alur cerita nampaknya pasti kita semua sudah mengerti pentingnya unsur tersebut dalam sebuah cerita terutama cerita pendek.

Unsur terakhir yang ada dalam sebuah cerita adalah karakterisasi tokoh di dalamnya. Setelah kurenungkan lebih dalam (walau aku sama sekali tidak memiliki latar belakang sastra sama sekali, tapi aku sering membaca karya fiksi) ternyata karya-karya fiksi yang telah kubaca adalah karya-karya sang pengarang yang membuat karakterisasi tokohnya amat terasa. Deskripsinya begitu jelas dan seolah dia nyata. Maka tak heran beberapa karya fiksi besar yang telah kubaca membuat seolah aku “mengenal” tokoh-tokoh di dalamnya. Tentunya ini karena deskripsi karakter yang amat baik dari pengarangnya. Semisal dalam novel thriller Tunnel Karya Roderick Gordon dan Brian Williams yang membuat seolah-olah saya mengenal sosok Will Burrow remaja yang penuh dengan rasa penasaran dan selalu melampiaskan rasa penasarannya dengan penggalian dan penjelajahan ke bawah tanah untuk menemukan ayahnya. Karakternya baik fisik dan sifatnya amat jelas digambarkan oleh penulisnya. Sehingga tidak berlebihan ketika membacanya, Will seperti sedang berbincang dengan kita atau setidaknya aku melihatnya secara langsung.

Untuk masalah karakterisasi tokoh dalam sebuah cerita, rasanya belum lengkap kalau kita tidak membahas novel The House of Spirit karya Isabel Allende. Sungguh, walaupun sudah sekitar 6 bulan yang lalu aku menyelesaikan membaca novel ini, tetapi tokoh Clara yang ada di novel ini masih sangat jelas di ingatanku. Karakterisasinya yang kuat seolah Clara hadir dan menemani keseharian kita dengan karakter yang digambarkan oleh penulisnya atau mungkin sebaliknya seolah aku yang selalu hadir di sana saat tokoh Clara sedang menjalankan perannya dalam cerita itu. Sejauh ini Clara masih menjadi karakterisasi tokoh yang terbaik menurutku. Tentu saja akan berbeda tiap penilaian orang.

Begitulah kekuatan karakterisasi tokoh dalam sebuah cerita. Dia akan memperkuat isi cerita, membuat nyata jalan cerita, mewarnai konflik yang ada, dan lebih hebatnya lagi ketika penulisnya membuat kita “mengenal” secara pribadi tokoh yang ada di dalamnya.

Pembahasan ini sama sekali masih jauh dari kata baik. Tapi ini setidaknya yang bisa kugambarkan dalam semangat dan inspirasi baru yang kudapat setelah membaca karya Hermawan Aksan ini yaitu Proses Kreatif Menulis Cerpen. Semoga aku tidak hanya membaca bukunya dan kemudian melupakan ide-ide dan kiat yang ada di dalamnya, tetapi juga berkarya dan terus berkarya.

Terima kasih kang Hermawan Aksan

Saturday, May 25, 2013

Suatu Hari di Kedalaman Bawah Sadarmu

Dewan jiwa.
Apa kabar dewan jiwa. Apakah rapat perkumpulan para dewan jiwa masih menjadi agenda rutin dalam bawah sadar ini. Apakah kalian semua masih terus saling berusaha saling mempengaruhi satu sama lain. Saling berebut pengaruh untuk menentukan jalan kehidupan jiwa ini.
Oh dewan jiwa ulah kalian telah menimbulkan dinamika yang tidak sedikit. Segalanya kutautkan pada sikap kalian, pada empati kalian dan tentu saja pada etika kalian. Jangan menyerobot, sesungguhnya menyerobot adalah perbuatan orang tidak sabar. 
“Perkataan ini dialamatkan untukmu hei dewan emosi ! Jangan pura-pura tidak melihat padaku!!”
"Hei, lihat kesini. Akibat ulahmu aku banyak menhancurkan hariku hanya karena masalah kecil. Tidak jarang orang menjadi tidak simpati padaku karena kalian dewan emosi yang tidak beretika dalam berebut pengaruh."
“Tapi kami hanya melakukan apa yang seharusnya kami lakukan, dan salah kamu sendiri kenapa masih mengundang kami dalam perkumpulan ini.” Tegas salah seorang dari dewan emosi. “Ini bentuk naluriah kami” tambah seorang rekan dari dewan emosi.
Seorang petinggi dewan Akal geram mendengarnya dan sudah tidak sabar untuk berkomentar.
“Sebentar, aku hanya ingin mengatakan. Anehnya mengapa saat para dewan emosi ini menyampaikan pendapatnya mulut kami seolah tersumpal benda padat yang keras yang menghalangi kami untuk ikut bicara?” “Kami hanya ingin kamu tahu, mungkin dewan emosi ini berlaku curang untuk membungkam dewan akal sehat sehingga kami sering kali kalah oleh dewan emosi.” Lengkaplah sudah semua hal yang terpendam diucapkan.
“Apa istimewanya mereka, padahal semua fondasi keberhasilanmu ditopang oleh sebagian besar dewan Akal mungkin juga peran lain dari dewan perenungan. Tapi kenapa kamu selalu lebih mendengarkan dewan emosi. Kami menyerah, kami tak sanggup lagi untuk hanya menjadi boneka bisu dalam bawah sadar ini. kami tak punya pengaruh apa-apa jika kamu terus mendengarkan dewan emosi”. Tegas sang petinggi dewan akal nampaknya mulai memperlihatkan rasa menyerah.
Apakah lebih baik keluarnya dewan Akal bisa digantikan perannya dengan dewan Nafsu. Nampaknya kalian akan lebih cocok dan saling melengkapi. Ujarku pada para dewan.
Akhirnya salah seorang dewan Akal yang sedari tadi diam mulai berkata. “Silahkan saja jika kamu ingin mereduksi makna manusia seperti apa yang telah dilakukan Charles Darwin.”
“Silahkan saja, karena si Darwin itu mungkin tidak mengetahui bahwa mahluk-makhluk yang diceritakan dalam teorinya tidak memiliki kami dalam kepalanya”.


Oleh                     : Hendiperdana
Sumber gambar : http://www.thehamiltonian.net/2011/11/perspectives-virtual-panel-on-this.html