Wednesday, August 22, 2012

Renungan “Diri” Manusia

 

pemikir

Gambar 1

Kekuatan pikiran manusia sudah dibicarakan oleh banyak ahli filosofi dunia semenjak keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf berspekulasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, apakah manusia ketika ia dilahirkan memiliki suatu ‘akal bawaan’ yang dengannya memungkinkan manusia untuk mengenali hal-hal yang masuk akal dan tidak kemudian dengan akal bawaan tersebut manusia dapat menilai mana yang baik dan buruk. Apakah moral masyarakat dibangun oleh logika-logika masyarakat tertentu pada suatu tempat ataukah sebuah bahasa universal yang mengilhami tiap-tiap jiwa manusia dengannya.

Sejarah mencatat kiprah para pemikir yang berkutat pada tema-tema ini. Mereka dengan banyak pertentangan yang terlahir melahirkan sebuah ‘arena’ pertandingan pemikiran dengan berbagai macam ‘amunisi’ yang mereka miliki. ‘Arena’ itu dibuka sejak manusia memiliki kesadaran untuk memikirkan asal-usul mereka hingga waktu ketika tulisan ini dibuat. Manusia selalu haus akan pengetahuan mendalam atas pertanyaan siapa dirinya dan kenapa mereka hidup. Para ‘petarung’ dalam ‘arena’ pemikiran ini memiliki kekuatan-kekuatan berbeda yang mencirikan diri mereka. Dengan kekuatannya masing-masing mereka ingin memenangkan ‘arena’ pertempuran pemikiran tersebut. Kekuatan itu mencirikan latar belakang pendidikan, budaya, profesi mereka. Dengan caranya sendiri mereka ingin menyibak rahasia besar yang bergumul di atas kepala kita yang menjelma menjadi gugusan bintang di malam hari, sinar matahari di pagi hari yang menembus sela ranting yang sinarnya membangunkan kita di pagi hari.

Adakah suatu kebenaran yang ‘kekal’ ? Itu pertanyaan utamanya. Manusia selalu berpikir untuk dapat menjawab pertanyaan ini. Kebenaran ‘kekal’ adalah substansi kebenaran mutlak yang tak lekang ditelan zaman, dia berlaku pada tiap situasi zaman, pada setiap tempat di seluruh dunia, dan tentunya tak peduli dengan cara berpikir orang di zaman itu.

Kebenaran ‘kekal’ memiliki banyak nama, salah satunya adalah hati nurani. Mungkinkah ada hati nurani manusia? Apa itu hati nurani manusia ? Mungkinkah hati nurani manusia terpengaruh oleh situasi zaman ? Pertanyaan mendasar ini akan selalu menjadi topic pembicaraan dalam ‘arena’ pemikiran manusia dan akan terus berlangsung selama substansi manusia menyentuh alam bumi.

Lalu bagaimana dengan aturan moral dalam agama ? Bukankah agama mengajarkan suatu kebaikan yang dapat diterima oleh semua orang ? Apakah ajaran agama tertentu masih dapat diakui oleh kebenaran universal manusia sampai pada saat zaman sudah berjalan ribuan tahun dan cara berpikir manusia sudah berbeda. Adakah secercah bukti yang menegaskan ‘kekekalan’ substansi moral yang dikandung oleh ajaran agama. Kini manusia sudah mulai ‘kurang ajar’ terhadap asal-usulnya sendiri. Bukankah manusia setuju bahwa dalam alam semesta ini banyak aspek-aspek yang tidak tersentuh oleh batas pengetahuan manusia, yang tidak tercapai oleh pemikiran manusia. Tetapi manusia terus mencoba untuk mendobrak batas tersebut.

Dalam diri manusia yang bergerak ini terdapat substansi yang tidak patuh kepada hukum fisik. Dia tidak patuh terhadap gaya gravitasi, terhadap hukum gaya benda-benda. Substansi ini menempati hal yang paling penting dalam perkembangan peradaban manusia.

Substansi manusia yang tidak menempati ruang dan waktu, tetapi memiliki kemampuan untuk mengubah ruang dan waktu. substansi yang tidak terlihat tapi dapat menyilaukan mata dengan kekuatannya. Substansi yang tidak dapat didengar tetapi dapat menghidupkan rasa dengan karyanya.

Dia tidak butuh ruang untuk keberadaannya, bahkan cenderung banyak pemikir yang berusaha meniadakan maknanya, meniadakannya dengan berbagai cara. Manusia bukan sebuah mesin yang memiliki komponen-komponen fisik yang patuh terhadap hukum sebab-akibat. Manusia tidak berdiri dalam suatu kestabilan fisik, karena apa yang menjadi fisik kita sesungguhnya hanyalah komponen-komponen mikro yang mengalami perubahan tiap waktunya.

 

human mindGambar 2

Renungan terdalam ini mengacu pada kenyataan bahwa manusia terdiri dari sekumpulan sel-sel yang berjumlah triliunan yang ‘entah’ bagaimana bergabung, membentuk sistem yang amat kompleks yang menjalani fungsi-fungsi fisologis manusia agar bisa bertahan hidup di dunia fisik.

Manusia memiliki sistem pencernaan yang diatur sedemikian rupa hingga sistem itu dapat mengolah makanan yang masuk hingga mengeluarkannya dalam bentuk zat sisa. Ini dalah sesuatu yang dibutuhkan agar bisa bertahan hidup di dunia fisik, mengingat jika makanan yang masuk ke tubuh kita tidak bisa dikeluarkan akan terjadi penumpukan materi di dalam usus dan menyebabkan perut membengkak. Ini pasti menyakitkan dan mungkin menyebabkan kita tidak dapat bertahan hidup. Apakah hal itu merupakan suatu hal yang bisa ditolerir dalam fungsi tubuh ? Mungkin jawabnya tidak. Suatu hal yang patuh kepada hukum fisik.

Tidak hanya itu masih banyak sistem-sistem yang dimiliki tubuh manusia. Dan itu merupakan hal yang mengacu pada hukum fisik. Dan tentunya tidak ada keraguan bagi kita untuk mengakui keberadaannya karena memang hal itu dapat terdeteksi oleh indra kita.

Lalu bagaimana sistem-sistem itu tersusun, tentunya ada hal yang lebih kecil lagi yang menjadi penyusun sistem-sistem tersebut. Ilmu pengetahuan modern telah begitu jauh mereduksi makna manusia. Mulai dari organ yang memiliki penyusunan berupa jaringan yang tersusun lagi oleh sel-sel. Disinilah ilmu pengetahuan modern begitu ‘sadis’ dalam mereduksi makna manusia. Sel dinyatakan memiliki komponen yang lebih kecil lagi yaitu organel yang tersusun dari makromolekul yang sering kita kenal seperti protein dan polisakarida. Tidak berhenti sampai disitu ‘mereka’ membagi lagi makna manusia menjadi gugusan asam amino yang menjadi penyusun dasar protein. Mungkin kini kita berpikir bahwa substansi asam amino yang menjadi inti dasar kehidupan.

 

molecularaGambar 3

Stanley Miller seorang darwinis sejati yang percaya pada teori materialisme yang menganggap alam realitas kita hanya memiliki alam fisik yang dapat dilihat secara objektif. Mereka meragukan bahkan meniadakan makna supranatural atau yang berbau mitos atau lebih kejamnya lagi makna penciptaan oleh Tuhan. Ilmuwan ini melakukan sebuah penelitian yang berlandaskan pada teori materialism dan gagasan lain yaitu awal kehidupan di alam semesta ini hanya sebuah kebetulan yang terjadi dari interaksi fenomena alam awal semesta. Fenomena-fenomena alam acak ini dalam interaksi maha kompleksnya menghasilkan suatu zat dasar yaitu asam amino. Yang setelah itu berkelanjutan menjadi sistem yang lebih kompleks hingga organism yang lebih rumit.

Stanley Miller di laboratoriumnya melakukan eksperimen yang menjadi miniatur buatan situasi alam semesta pada awal terciptanya. Sebelumnya gagasan asam amino yang terbentuk secara acak dari fenomena alam akan dibahas sedikit. Singkat dan mudahnya para penganut materialism ‘percaya’ bahwa alam semesta pada awal terbentuknya memiliki atmosfer yang dipenuhi gas metana ( CH3) tanpa oksigen. Selain itu milyaran tahun yang lalu iklim bumi belum stabil dan dipenuhi oleh kilatan halilintar yang memenuhi langit bumi. Singkatnya percikan halilintar yang menyentuh molekul gas metana itu akan menghasilkan molekul asam amino. Dalam miniatur Miller, dia membuat sebuah sirkuit tabung yang menghasilkan gas metana yang dialirkan ke sebuah arus listrik yang menghasilkan percikan api ( yang diibaratkan percikan halilintar) dan hasil sisa reaksi itu akan ditampung dalam sebuah bejana tabung. Apa yang ditemukan Miller ? Betul saja sebuah molekul asam amino yang memang merupakan penyusun utama kehidupan organisme.

 

stanley millerexperiment

Apakah dengan hal ini Miller membuktikan semua kepercayaan yang dianut orang-orang materialis ? Bahwa penyusun utama kehidupan organisme di alam semesta dapat terbentuk dari fenomena alam acak ? Sebelum menjawab pertanyaan rumit ini renungkan dulu sejenak implikasi dari kebenaran teori ini. Begini, apakah kita menghargai diri kita sendiri, apakah kita menganggap diri kita memiliki tempat khusus dalam penciptaan ? atau pada sebuah pertanyaan yang lebih umum, apakah manusia memiliki suatu maksud khusus untuk hidup di dunia ini dank arena itu ‘diciptakan’ manusia ? Kalau kita menjawab ‘Ya’ dari keseluruhan pertanyaan tersebut, sudikah kita menerima kenyataan bahwa jiwa kita yang berharga ini terbentuk dari fenomena-fenomena acak dari substansi fisika dan reaksi kimia ?

Jika disimpulkan intinya adalah kehidupan manusia dan alam semesta raya yang amat kompleks ini ‘terjadi’ karena sebuah aspek ‘kebetulan’ dari fenomena alam milyaran tahun yang lalu, hingga akhirnya membentuk kehidupan yang melahirkan kakek nenek kita hingga terbentuk mata indah kita yang sedang membaca tulisan ini. Apakah kita harus ragu ? bukankah agama mengajarkan pada kita bahwa alam semesta ini bermula dari sebuah titik ketiadaan dan Tuhan yang Maha Kuasa menciptakan seluruh alam semesta ini dari ketiadaan.

alam

Gambar 5

To be continued…..

Oleh : Hendiperdana

Rujukan gambar : www.google.co.id

No comments: