Monday, July 22, 2013

Yeaaahh Part 1

“Penulis”, hanya ini sebuah kata yang kupikirkan dalam benak. Bagaimana caranya menjadi seorang penulis yang baik. Wacana ini selalu saja berputar di tempat yang sama, seputaran bagaimana jadi penulis yang baik, apa yang harus dilakukan jadi penulis yang baik, cerita tentang minat saya menjadi penulis, dll. Semua berkisar tentang tema itu tanpa sekalipun ada sebuah aksi nyata untuk merintis mencapai hal tersebut.
Manusia memang hanya seorang perencana, sebaik apapun kemampuan eksekusinya. Betulkah begitu ? Saya ragu. Manusia tidak hanya berada dalam posisi perencana saja. Essensinya lebih dari itu. Manusia adalah perancang. Perancang apa ? Tentu saja perancang minat, niat, tekad, dan keinginan untuk bergerak. Manusia berhak untuk merancang segala perlengkapan mentalnya untuk mencoba atau tidak segala yang direncanakannya. Bingung ? Sejujurnya saya juga bingung tapi biarlah yang penting tulisan ini mengalir jangan statis dan diam. Kata orang sesuatu yang tidak mengalir atau statis atau diam tidak baik. Katanya juga yang statis itu adalah sumber penyakit. Penyakit apa dulu nih? Tentu semua penyakit.Penyakit hati, penyakit sosial, penyakit ekonomi, penyakit jiwa, penyakit jantung, intinya berlaku di penyakit mana pun. Sifat statis bagaikan semacam mata uang yang berlaku di semua Negara. Sifat statis berlaku di ranah mana pun untuk menimbulkan penyakit.
Kok terlalu jauh ya ? Sudahlah lupakan saja. Pura-pura lupa saja, atau pura-pura gila atau pura-pura belum mandi.
Begini ya, banyak yang bilang “menjadi penulis itu mudah”, atau dengan kata-kata yang lebih menghibur “menulis itu mengalir saja seperti kita bernafas”. Saya sebenarnya takut mendengar kata-kata terakhir ini. Kalau diresapi lebih dalam, menulis mengalir seperti bernafas. konsekuensinya ngeri juga. Bayangkan kalau tiba-tiba kita mengalami writer-block. Blank. Kosong. Ngga tau mau nulis apa. Saya membayangkan kalau menulis seperti nafas berarti saat itu juga saya mengalami henti nafas. Ya Allah seram juga ya. Tapi apapun lah ya namanya juga bahasa kiasan. Jangan terlalu dibawa serius, yang namanya bahasa kiasan kalau dianggap serius apalagi sampai dimasukkin ke hati bisa jadi perkara besar dan huru-hara. Berlebihan ya kata-katanya? Iya, sedikit.
Contoh konkritnya apa ya ? Oh ya masalah peribahasa “surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Kiasan ini sekilas nampak harfiah ya. Jelas ada subjeknya yaitu ibu, ada objeknya yaitu surga dan telapak kaki ibu. Kalau ditafsirkan secara bebas mungkin begini ya kira-kira. Kalau kita mati kemudian mayat kita diinjak sama telapak kaki ibu kita maka saat itu pula kita akan langsung lewat jalan by-pass ke surga. Ok, itu terlalu radikal. Terlalu keras. Terlalu ekstrim kalau kata anak-anak remaja yang lagi doyan olahraga ekstrim. Penafsiran masalah kiasan telapak kaki ibu yang lebih moderat kira-kira begini mungkin ya. Kalau kita mencuci telapak kaki ibu dengan air dan bekas airnya itu kita minum maka segala segi kehidupan kita akan dipermudah semudah kehidupan di surga. Lumayan moderat, tidak terlalu ekstrim. Hanya saja saya suka bingung, kalau setelah kita minum air hasil bekas mencuci telapak kaki ibu kita itu lalu kita memaki-maki ibu kita apa surganya masih milik kita. Jadi penafsiran yang moderat ini masih rada berbahaya nih, karena maknanya masih buram, abu-abu atau remang-remang juga boleh.
Tadi sudah bahas penafsiran yang ektrem dan moderat ya. Ok, sekarang boleh kan saya punya penafsiran versi sendiri? Boleh ya. Kalau saya sih menafsirkan begini. Kalau telapak kaki ibu kita itu udah dibandingkan dengan surga – telapak kaki ya tentu saja identik dengan bagian terendah dari struktur manusia dalam posisi anatomi, bagian tubuh terkotor karena menginjak bumi – apalagi kalau kita mengecup pipinya, mengecup dahinya, meringankan deritanya bahkan sampai menyentuh qalbunya. Ah apa ada essensi perbandingan yang lebih tinggi dari surga ? Kalau telapak kaki ibu kita saja identik dengan surganya Allah apalagi dengan bentuk bakti yang lain dari sekadar “mencuci kaki dan meminum bekas airnya”. Bagian ini tidak dimaksudkan untuk menggurui siapa pun, di mana pun. Tulisan ini juga ditujukan untuk diri saya sendiri yang terkadang masih lupa dan sering khilaf dalam memperlakukan orang tua terutama Ibu. Ampuni hamba ya Rab.
Ok, sampai mana ya kita tadi. Oia kita sampai pada kata-kata mutiara atau yang sering disebut kata motivasi untuk menulis. Setelah tadi ungkapan “menulis mengalir seperti kita bernafas” ada juga ungkapan yang lebih intelek. Seorang penulis bernama Roland Fishman menulis sebuah buku berjudul “ Menulis itu Genius”. Menurut saya sih ini cukup. Cukup untuk bikin saya putus asa. Tahu kan alasannya kenapa ? Sudahlah tidak usah dibahas nanti jadi bosan.
Pembahasan kata-kata mutiara yang memotivasi untuk semangat menulis kita cukupkan disini ya. Sekarang kita coba bahas sedikit aspek lain. Saya terpikirkan untuk mendokumentasikan semua pengetahuan – ingat, pengetahuan, bukan skill- tentang menulis dan aktivitas sekitar menulis yang saya dapat dari buku, artikel, atau apa pun itu yang saya baca. Beberapa hal itu saya ingat dengan jelas karena memang saya hanya ingat mengingat-ingatnya saja tanpa implementasi dan beginilah hasilnya Nol besar. Banyak dari pengetahuan ini yang memotivasi dan menumbuhkan gairah menulis yang besar namun lagi-lagi musuh besar selalu menguntit. You know what ? Yes, that’s procrastination. Kebiasaan menunda ini racun utama yang selalu menggerogoto inspirasi, motivasi ataupun niat yang sudah dikumpulkan untuk memulai sebuah proyek menulis. Baik, kita tidak akan ke si procrastination dulu, karena sampai sekarang dia masih jadi buronan, belum tertangkap apalagi diadili dan dipenjara. Intinya dia masih berkeliaran di sekitar saya, mengintai saat yang tepat dan bum ! semuanya hancur. Bisa saja si procrastination ini juga berkeliaran di sekitar rumahmu, atau di jendela kamarmu, bahkan mungkin lagi gelendotan di bahumu ! hiiii. Ngeri emang si procrastination ini.
Kita kembali ke teori-teori tentang aktivitas menulis. Teori pertama dan utama tentang aktivitas menulis yang saya ingat itu adalah “menulis itu dasarnya berbagi, berbagi pengetahuan dan pengalaman yang kita punya dalam bentuk tulisan yang bisa orang lain baca.” Serius kata-kata ini berkali-kali membombardir kesadaran dan semangat untuk terus belajar nulis. Kemudian apalagi ya? Oia, “menulis itu memperpanjang umur kita” awalnya saya juga berpikir kok bisa ya? Apa hubungannya umur sama aktivitas tangan kita yang menulis, apakah dengan kita menulis kemudian sel-sel  dan seluruh molekul di tubuh kita dengan sengaja mengorganisir diri menjadi lebih sehat. Who knows ? Bisa saja, walaupun kurang logis. Ternyata setelah saya pikir lagi yang dimaksud umur disini bukan umur biologis tapi umur sosial atau istilah eksistensi kita di dunia. Ga percaya ? Pernah dengar Homer kan ? Penulis drama terkenal Odisey dari Yunani kuno atau William Shakespeare atau yang menurut beberapa sumber nama aslinya itu Edward De Vere penulis Hamlet. Mereka hidup di zaman yang mungkin kita percaya ga percaya zaman itu ada. Tetapi karya drama masih dipentaskan dan dikaji oleh sastrawan sampai saat ini. sampai detik ini. Usia biologis? Tentu mereka pasti sudah membusuk, bahkan atom-atom penyusun tubuh mereka dulu mungkin sudah jadi bagian atom-atom penyusun dahan pohon pisang di daerah Indramayu, Jawa Barat.
Banyak lah perihal tentang menulis yang mau diceritakan di sini. Walaupun sekali lagi saya tegaskan saya sama sekali bukan penulis tapi hanya sering baca teori tentang nulis. Ya, beginilah. Terakhir deh ya sebelum sesi ini kita tutup – kayak seminar aja-
Ungkapan yang membuat saya terus semangat untuk belajar nulis itu kira-kira bunyinya begini “dengan menulis kita pergi kemana-mana tanpa kemana-mana. Mohon maaf sekali saya lupa orang yang mencantumkan ungkapan ini. Siapapun dia menurut saya ini ungkapan yang brilian. Contohnya dalam artikel di situs pribadinya Pandji Pragiwaksono di www.pandji.com/unless/ yang judulnya “Unless” yang menyuarakan untuk banyak menulis di blog. Salah satu pernyataannya di artikel itu  “kini internet membuat saya di Jakarta bisa dipahami isi kepalanya oleh orang yang ada di Maluku tanpa siapapun harus keluarkan uang hingga jutaan rupiah untuk tiket, makan dan penginapan”.  Itu bener banget sssoooooobb ! Kita kemana-kemana tanpa pergi kemana-mana. Maksudnya kata “kita” itu bukan pengertian fisik, biologis, jasmaniah. Tapi lebih ke makna essensi diri kita yang terwakili dengan ide, gagasan, pemikiran, kreatifitas, dsb. Bayangkan pemikiran seseorang di sebuah daerah terpencil di dunia atau mungkin di daerah konflik yang dituliskan dan didokumentasikan dengan bantuan internet ataupun media publikasi apapun bisa mengubah pandangan dunia. Yah, untuk alasan-alasan inilah saya masih terus berusaha untuk belajar menulis. Walaupun saya tahu sebenarnya menulis itu sama sekali tidak mudah. Nanti kita sambung lagi sharing tentang alasan-alasan lain yang membuat saya terus mau belajar nulis.
Tulisan ini memang berputar-putar lagi tidak jelas ditambah dengan warna kekacauan. Saran saya setelah baca tulisan ini baiknya pergi ke psikolog untuk terapi melupakan sesuatu. Sudah lupakan saja, atau pura-pura gila , pura-pura belum mandi juga boleh.

Oleh   :  Hendiperdana

Thursday, July 11, 2013

Jurnal Mimpi (Delayed)

Oleh : Hendiperdana

Dia sudah berjanji (untuk yang kesekian kalinya) pada dirinya sendiri bahwa apapun yang terjadi setelah dia bangun nanti, dia akan mulai menuliskan apa yang ada dalam mimpinya di sebuah jurnal mimpi. Yaitu buku tulis biasa yang diletakkan di samping kepalanya saat dia tidur agar saat bangun nanti, ketika ingatan tentang mimpi tersebut masih sangat jelas detailnya maka tak ada satu pun yang akan luput untuk dituliskan. Namun kenyataannya sudah berapa ratus kali niat tersebut tak terlaksana.
Dia tidak boleh menyalahkan apapun dan siapapun walau dia selalu berkelit bahwa kebiasaan menunda dan rasa malas ini yang telah melahapnya habis sehingga dia tidak diizinkan untuk berkarya bahkan dalam jurnal mimpinya.
Dia selalu memiliki minat misterius dan aneh terhadap eksistensi mimpi. Baginya mimpi bukanlah seperti yang banyak orang bilang. “Mimpi adalah bunga tidur” kira-kira seperti itu yang sering orang katakan. Tapi dia tidak setuju akan hal itu. Inilah yang selalu menumbukan minatnya pada penelusuran eksistensi mimpi. Baginya mimpi memiliki makna yang lebih dalam dan misterius dari hanya sekedar pelengkap tidur.
Dia terlalu berlebihan karena menganggap mimpi memiliki cerminan bawah sadar manusia. Menurutnya, dari segala macam teori yang dia baca, manusia memiliki sebuah alam di luar kesadaranyya. Nah, alam itu selalu menyimpan dan merefleksikan isinya pada kehidupan alam sadar manusia. Bingung? Tentu karena dia memang selalu membingunkan. Baik, begini saja, singkatnya segala pengalaman yang dialami manusia baik dia menyadarinya atau tidak tetap akan masuk ke dalam sebuah sistem memori yang disebut dengan alam bawah sadar.
Pengalaman itu maknanya amat luas mulai dari apa yang manusia rasakan, lihat, dengar, cium, dll. Segala persepsi dan sensori tak ada satu pun yang luput dari sistem prosesing alam bawah sadar ini. Kira-kira menurut dia seperti itu.
Satu hal lagi, tanpa manusia menyadarinya atau tidak segala yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu sifatnya abadi. Menurutnya, segala hal yang terdapat di alam bawah sadar amat sangat mempengaruhi sifat- sifat serta pembawaan kita di alam sadar.
Kita sudah sampai pada kesimpulan. Ya, mengubah apa yang ada di bawah sadar secara tidak disadari akan sangat mempengaruhi alam sadar manusia. Rumit sekali ya ? Inilah obsesinya dan dia akan menuangkan obsesi itu dalam jurnal mimpinya. Yang benar saja !
Malam ini dia telah berjanji untuk langsung menggoreskan tinta dan membentuk untaian kata demi kata pada kertas kosong dalam jurnal mimpinya. Tujuannya tak muluk-muluk dia hanya ingin menyelami makna dirinya lebih dalam. Menyelami makna dirinya melalui rekayasa literasi.

Yeah, that’s the power of literation !