Thursday, August 22, 2013

Malangnya Rasio

We will never know how the world is, until we touch it with our whole. Not only our ratio

Dunia dengan segala ke “ada” annya. Yang mengharuskan ribuan konsepsi tentangnya.
Kita tak akan pernah tahu mana yang menyerupai atau setidaknya hanya mewakili.
Karena manusia memang dikaruniai dengan keterbatasan itu sendiri.
Dengan keterbatasan itulah manusia mencapai kesempurnaan essensinya.

Tidaklah hina hanya untuk sekedar menengok pada kemungkinan yang lain.
Walau kepala kita kadang tertunduk malu jika sejenak harus mengedepankan intuisi.
Kita telah lama dibutakan oleh hal yang banyak disepakati.
Rasio bukanlah satu-satunya pintu menuju kebenaran.

Benarkah begitu ? Tanyakan saja pada yang bertanggung jawab atas semua ini.
Rasio yang kehadirannya telah disalahartikan, kehadirannya hanya untuk memperkaya khazanah cara berpikir. Hanya untuk mengisi fungsi tertentu dalam pemecahan masalah.
Rasio dengan segala kegagahannya yang gemilang. Menggelapkan banyak mata, hingga akhirnya dia ditarik dari tempatnya seharusnya berada munuju sebuah arena “Maha Benar” dalam segala aspek ke “ada”an.
Rasio pun kini menjadi makin sombong dengan arogansinya yang mengalir dalam tiap maknanya. Rasio bagai jawaban segala fenomena, dia dinisbatkan dalam singgasana tertinggi verifikasi. Hanya melalui singasana tertinggi inilah sebuah kebenaran dapat diakui.
Sungguh malang nasibmu wahai “kenyataan”. Keelokanmu yang menawan dan tanpa batas hanya masuk dalam klasifikasi berkotak-kotak ala rasio. Keindahanmu tak terjelaskan dengan sempurna karena ada yang dilarang dalam ranah rasio. Karena sekarang, dia (rasio) yang berkuasa. Oh, sungguh andai “dunia” bukan hanya saja meng “adopsi” rasio dalam perjalanan waktunya, tapi juga meng “adopsi” intuisi, refleksi, perenungan, dan pemaknaan dalam buaiannya. Mungkin dunia yang kita lihat ini tidak seperti sekarang.

Oleh : Hendiperdana


Monday, July 22, 2013

Yeaaahh Part 1

“Penulis”, hanya ini sebuah kata yang kupikirkan dalam benak. Bagaimana caranya menjadi seorang penulis yang baik. Wacana ini selalu saja berputar di tempat yang sama, seputaran bagaimana jadi penulis yang baik, apa yang harus dilakukan jadi penulis yang baik, cerita tentang minat saya menjadi penulis, dll. Semua berkisar tentang tema itu tanpa sekalipun ada sebuah aksi nyata untuk merintis mencapai hal tersebut.
Manusia memang hanya seorang perencana, sebaik apapun kemampuan eksekusinya. Betulkah begitu ? Saya ragu. Manusia tidak hanya berada dalam posisi perencana saja. Essensinya lebih dari itu. Manusia adalah perancang. Perancang apa ? Tentu saja perancang minat, niat, tekad, dan keinginan untuk bergerak. Manusia berhak untuk merancang segala perlengkapan mentalnya untuk mencoba atau tidak segala yang direncanakannya. Bingung ? Sejujurnya saya juga bingung tapi biarlah yang penting tulisan ini mengalir jangan statis dan diam. Kata orang sesuatu yang tidak mengalir atau statis atau diam tidak baik. Katanya juga yang statis itu adalah sumber penyakit. Penyakit apa dulu nih? Tentu semua penyakit.Penyakit hati, penyakit sosial, penyakit ekonomi, penyakit jiwa, penyakit jantung, intinya berlaku di penyakit mana pun. Sifat statis bagaikan semacam mata uang yang berlaku di semua Negara. Sifat statis berlaku di ranah mana pun untuk menimbulkan penyakit.
Kok terlalu jauh ya ? Sudahlah lupakan saja. Pura-pura lupa saja, atau pura-pura gila atau pura-pura belum mandi.
Begini ya, banyak yang bilang “menjadi penulis itu mudah”, atau dengan kata-kata yang lebih menghibur “menulis itu mengalir saja seperti kita bernafas”. Saya sebenarnya takut mendengar kata-kata terakhir ini. Kalau diresapi lebih dalam, menulis mengalir seperti bernafas. konsekuensinya ngeri juga. Bayangkan kalau tiba-tiba kita mengalami writer-block. Blank. Kosong. Ngga tau mau nulis apa. Saya membayangkan kalau menulis seperti nafas berarti saat itu juga saya mengalami henti nafas. Ya Allah seram juga ya. Tapi apapun lah ya namanya juga bahasa kiasan. Jangan terlalu dibawa serius, yang namanya bahasa kiasan kalau dianggap serius apalagi sampai dimasukkin ke hati bisa jadi perkara besar dan huru-hara. Berlebihan ya kata-katanya? Iya, sedikit.
Contoh konkritnya apa ya ? Oh ya masalah peribahasa “surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Kiasan ini sekilas nampak harfiah ya. Jelas ada subjeknya yaitu ibu, ada objeknya yaitu surga dan telapak kaki ibu. Kalau ditafsirkan secara bebas mungkin begini ya kira-kira. Kalau kita mati kemudian mayat kita diinjak sama telapak kaki ibu kita maka saat itu pula kita akan langsung lewat jalan by-pass ke surga. Ok, itu terlalu radikal. Terlalu keras. Terlalu ekstrim kalau kata anak-anak remaja yang lagi doyan olahraga ekstrim. Penafsiran masalah kiasan telapak kaki ibu yang lebih moderat kira-kira begini mungkin ya. Kalau kita mencuci telapak kaki ibu dengan air dan bekas airnya itu kita minum maka segala segi kehidupan kita akan dipermudah semudah kehidupan di surga. Lumayan moderat, tidak terlalu ekstrim. Hanya saja saya suka bingung, kalau setelah kita minum air hasil bekas mencuci telapak kaki ibu kita itu lalu kita memaki-maki ibu kita apa surganya masih milik kita. Jadi penafsiran yang moderat ini masih rada berbahaya nih, karena maknanya masih buram, abu-abu atau remang-remang juga boleh.
Tadi sudah bahas penafsiran yang ektrem dan moderat ya. Ok, sekarang boleh kan saya punya penafsiran versi sendiri? Boleh ya. Kalau saya sih menafsirkan begini. Kalau telapak kaki ibu kita itu udah dibandingkan dengan surga – telapak kaki ya tentu saja identik dengan bagian terendah dari struktur manusia dalam posisi anatomi, bagian tubuh terkotor karena menginjak bumi – apalagi kalau kita mengecup pipinya, mengecup dahinya, meringankan deritanya bahkan sampai menyentuh qalbunya. Ah apa ada essensi perbandingan yang lebih tinggi dari surga ? Kalau telapak kaki ibu kita saja identik dengan surganya Allah apalagi dengan bentuk bakti yang lain dari sekadar “mencuci kaki dan meminum bekas airnya”. Bagian ini tidak dimaksudkan untuk menggurui siapa pun, di mana pun. Tulisan ini juga ditujukan untuk diri saya sendiri yang terkadang masih lupa dan sering khilaf dalam memperlakukan orang tua terutama Ibu. Ampuni hamba ya Rab.
Ok, sampai mana ya kita tadi. Oia kita sampai pada kata-kata mutiara atau yang sering disebut kata motivasi untuk menulis. Setelah tadi ungkapan “menulis mengalir seperti kita bernafas” ada juga ungkapan yang lebih intelek. Seorang penulis bernama Roland Fishman menulis sebuah buku berjudul “ Menulis itu Genius”. Menurut saya sih ini cukup. Cukup untuk bikin saya putus asa. Tahu kan alasannya kenapa ? Sudahlah tidak usah dibahas nanti jadi bosan.
Pembahasan kata-kata mutiara yang memotivasi untuk semangat menulis kita cukupkan disini ya. Sekarang kita coba bahas sedikit aspek lain. Saya terpikirkan untuk mendokumentasikan semua pengetahuan – ingat, pengetahuan, bukan skill- tentang menulis dan aktivitas sekitar menulis yang saya dapat dari buku, artikel, atau apa pun itu yang saya baca. Beberapa hal itu saya ingat dengan jelas karena memang saya hanya ingat mengingat-ingatnya saja tanpa implementasi dan beginilah hasilnya Nol besar. Banyak dari pengetahuan ini yang memotivasi dan menumbuhkan gairah menulis yang besar namun lagi-lagi musuh besar selalu menguntit. You know what ? Yes, that’s procrastination. Kebiasaan menunda ini racun utama yang selalu menggerogoto inspirasi, motivasi ataupun niat yang sudah dikumpulkan untuk memulai sebuah proyek menulis. Baik, kita tidak akan ke si procrastination dulu, karena sampai sekarang dia masih jadi buronan, belum tertangkap apalagi diadili dan dipenjara. Intinya dia masih berkeliaran di sekitar saya, mengintai saat yang tepat dan bum ! semuanya hancur. Bisa saja si procrastination ini juga berkeliaran di sekitar rumahmu, atau di jendela kamarmu, bahkan mungkin lagi gelendotan di bahumu ! hiiii. Ngeri emang si procrastination ini.
Kita kembali ke teori-teori tentang aktivitas menulis. Teori pertama dan utama tentang aktivitas menulis yang saya ingat itu adalah “menulis itu dasarnya berbagi, berbagi pengetahuan dan pengalaman yang kita punya dalam bentuk tulisan yang bisa orang lain baca.” Serius kata-kata ini berkali-kali membombardir kesadaran dan semangat untuk terus belajar nulis. Kemudian apalagi ya? Oia, “menulis itu memperpanjang umur kita” awalnya saya juga berpikir kok bisa ya? Apa hubungannya umur sama aktivitas tangan kita yang menulis, apakah dengan kita menulis kemudian sel-sel  dan seluruh molekul di tubuh kita dengan sengaja mengorganisir diri menjadi lebih sehat. Who knows ? Bisa saja, walaupun kurang logis. Ternyata setelah saya pikir lagi yang dimaksud umur disini bukan umur biologis tapi umur sosial atau istilah eksistensi kita di dunia. Ga percaya ? Pernah dengar Homer kan ? Penulis drama terkenal Odisey dari Yunani kuno atau William Shakespeare atau yang menurut beberapa sumber nama aslinya itu Edward De Vere penulis Hamlet. Mereka hidup di zaman yang mungkin kita percaya ga percaya zaman itu ada. Tetapi karya drama masih dipentaskan dan dikaji oleh sastrawan sampai saat ini. sampai detik ini. Usia biologis? Tentu mereka pasti sudah membusuk, bahkan atom-atom penyusun tubuh mereka dulu mungkin sudah jadi bagian atom-atom penyusun dahan pohon pisang di daerah Indramayu, Jawa Barat.
Banyak lah perihal tentang menulis yang mau diceritakan di sini. Walaupun sekali lagi saya tegaskan saya sama sekali bukan penulis tapi hanya sering baca teori tentang nulis. Ya, beginilah. Terakhir deh ya sebelum sesi ini kita tutup – kayak seminar aja-
Ungkapan yang membuat saya terus semangat untuk belajar nulis itu kira-kira bunyinya begini “dengan menulis kita pergi kemana-mana tanpa kemana-mana. Mohon maaf sekali saya lupa orang yang mencantumkan ungkapan ini. Siapapun dia menurut saya ini ungkapan yang brilian. Contohnya dalam artikel di situs pribadinya Pandji Pragiwaksono di www.pandji.com/unless/ yang judulnya “Unless” yang menyuarakan untuk banyak menulis di blog. Salah satu pernyataannya di artikel itu  “kini internet membuat saya di Jakarta bisa dipahami isi kepalanya oleh orang yang ada di Maluku tanpa siapapun harus keluarkan uang hingga jutaan rupiah untuk tiket, makan dan penginapan”.  Itu bener banget sssoooooobb ! Kita kemana-kemana tanpa pergi kemana-mana. Maksudnya kata “kita” itu bukan pengertian fisik, biologis, jasmaniah. Tapi lebih ke makna essensi diri kita yang terwakili dengan ide, gagasan, pemikiran, kreatifitas, dsb. Bayangkan pemikiran seseorang di sebuah daerah terpencil di dunia atau mungkin di daerah konflik yang dituliskan dan didokumentasikan dengan bantuan internet ataupun media publikasi apapun bisa mengubah pandangan dunia. Yah, untuk alasan-alasan inilah saya masih terus berusaha untuk belajar menulis. Walaupun saya tahu sebenarnya menulis itu sama sekali tidak mudah. Nanti kita sambung lagi sharing tentang alasan-alasan lain yang membuat saya terus mau belajar nulis.
Tulisan ini memang berputar-putar lagi tidak jelas ditambah dengan warna kekacauan. Saran saya setelah baca tulisan ini baiknya pergi ke psikolog untuk terapi melupakan sesuatu. Sudah lupakan saja, atau pura-pura gila , pura-pura belum mandi juga boleh.

Oleh   :  Hendiperdana

Thursday, July 11, 2013

Jurnal Mimpi (Delayed)

Oleh : Hendiperdana

Dia sudah berjanji (untuk yang kesekian kalinya) pada dirinya sendiri bahwa apapun yang terjadi setelah dia bangun nanti, dia akan mulai menuliskan apa yang ada dalam mimpinya di sebuah jurnal mimpi. Yaitu buku tulis biasa yang diletakkan di samping kepalanya saat dia tidur agar saat bangun nanti, ketika ingatan tentang mimpi tersebut masih sangat jelas detailnya maka tak ada satu pun yang akan luput untuk dituliskan. Namun kenyataannya sudah berapa ratus kali niat tersebut tak terlaksana.
Dia tidak boleh menyalahkan apapun dan siapapun walau dia selalu berkelit bahwa kebiasaan menunda dan rasa malas ini yang telah melahapnya habis sehingga dia tidak diizinkan untuk berkarya bahkan dalam jurnal mimpinya.
Dia selalu memiliki minat misterius dan aneh terhadap eksistensi mimpi. Baginya mimpi bukanlah seperti yang banyak orang bilang. “Mimpi adalah bunga tidur” kira-kira seperti itu yang sering orang katakan. Tapi dia tidak setuju akan hal itu. Inilah yang selalu menumbukan minatnya pada penelusuran eksistensi mimpi. Baginya mimpi memiliki makna yang lebih dalam dan misterius dari hanya sekedar pelengkap tidur.
Dia terlalu berlebihan karena menganggap mimpi memiliki cerminan bawah sadar manusia. Menurutnya, dari segala macam teori yang dia baca, manusia memiliki sebuah alam di luar kesadaranyya. Nah, alam itu selalu menyimpan dan merefleksikan isinya pada kehidupan alam sadar manusia. Bingung? Tentu karena dia memang selalu membingunkan. Baik, begini saja, singkatnya segala pengalaman yang dialami manusia baik dia menyadarinya atau tidak tetap akan masuk ke dalam sebuah sistem memori yang disebut dengan alam bawah sadar.
Pengalaman itu maknanya amat luas mulai dari apa yang manusia rasakan, lihat, dengar, cium, dll. Segala persepsi dan sensori tak ada satu pun yang luput dari sistem prosesing alam bawah sadar ini. Kira-kira menurut dia seperti itu.
Satu hal lagi, tanpa manusia menyadarinya atau tidak segala yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu sifatnya abadi. Menurutnya, segala hal yang terdapat di alam bawah sadar amat sangat mempengaruhi sifat- sifat serta pembawaan kita di alam sadar.
Kita sudah sampai pada kesimpulan. Ya, mengubah apa yang ada di bawah sadar secara tidak disadari akan sangat mempengaruhi alam sadar manusia. Rumit sekali ya ? Inilah obsesinya dan dia akan menuangkan obsesi itu dalam jurnal mimpinya. Yang benar saja !
Malam ini dia telah berjanji untuk langsung menggoreskan tinta dan membentuk untaian kata demi kata pada kertas kosong dalam jurnal mimpinya. Tujuannya tak muluk-muluk dia hanya ingin menyelami makna dirinya lebih dalam. Menyelami makna dirinya melalui rekayasa literasi.

Yeah, that’s the power of literation !


Friday, June 21, 2013

Renungan Kecil Tentang Baca dan Nulis

Oleh : Hendiperdana

Saat berkunjung ke kota Makassar, Sulawesi Selatan selama 3 hari kemarin memberikan pengalaman baru bagi saya. Karena ini adalah kunjungan pertama ke kota ini dan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di pulau Sulawesi membuat takjub dengan apa yang saya lihat di kota ini. Pada hari-hari perjalananku di kota ini saya menyempatkan untuk mengunjungi perpustakaan umum kota Makassar yang terletak di jalan Lamaddukelleng no.3. Di sana saya menemukan sebuah poster layanan masyarakat tentang gerakan membaca dan menulis dan saya menemukan sebait kalimat “Menulislah jika kamu tidak ingin hilang dalam pusaran zaman.” Sebuah perumpamaan yang baik menurut saya. Ajakan atau mungkin bentuk perintah untuk menulis dan menghasilkan karya dari pemikiran kita. Menulis dengan tujuan karya yang kita hasilkan tidak mati ditelan zaman karena sebuah karya dari hasil pemikiran dan pembelajaran memiliki usia yang lebih panjang ketimbang yang memiliki karya itu. Usia kehidupan kita mungkin tidak akan melebihi 100 tahun tetapi tulisan yang kita buat yang dapat mempengaruhi orang lain dapat bertahan hidup sampai ribuan tahun. Pusaran zaman seiring dengan bergulirnya waktu seolah tidak peduli terhadap manusia yang hidup di dalamnya ketika umur manusia sudah habis, pusaran zaman hanya mengingatnya hanya sebait nama tak lebih. Apa yang membuat manusia dikenang oleh generasi-generasi berikutnya adalah saat dia bisa menghasilkan karya dari buah pemikirannya yang dapat bermanfaat untuk orang lain.
Francis Bacon seorang filsuf prancis yang terkenal di era renaissance tahun 1605 mengatakan
“maka kita lihat, betapa monument-monumen akal dan pembelajaran jauh lebih bertahan daripada monument-monumen kekuatan atau karya tangan. Karena bukanlah bait-bait Homer bertahan dua ribu lima ratus tahun atau lebih, tanpa kehilangan satu patah kata atau huruf pun. Dalam kurun waktu itu tak terkira banyaknya istana, kuil, benteng, kota yang telah membusuk dan hancur ?” ( The Advancement of Learning )
Bukankah kekuatan dari buah pemikiran dan akal dapat bertahan selama itu lebih kekal dari buah kekuatan tangan. Francis Bacon mengungkapkan hal itu saat kemajuan seni, ilmu pengetahuan dan sastra sedang berkembang pesat di eropa setelah melewati abad kegelapan. Bacon bukan hanya menyatakan kekuatan buah pemikiran dalam peradaban manusia tetapi juga kelanggengannya dalam mengisi khazanah peradaban manusia. Manusia adalah makhluk pembelajar yang merupakan keunikannya yang membedakan dengan makhluk lain. Manusia bisa membuat abstraksi dari realitas-realitas yang mereka amati dengan panca inderanya dan dituangkan dalam bentuk tulisan. Sehingga manusia lain dapat mempelajari pesan dan manfaat yang terkandung dalam abstraksi tersebut. Manusia melakukan simbolisasi terhadap realitas-realitas sehingga manusia lain dapat ikut mengkaji realitas tersebut tanpa menghadirkan objek kajian tersebut di depan mata. Kekuatan literasi yaitu kekuatan tulisan untuk dapat memindahkan hakikat dan manfaat ilmu yang dimiliki seseorang di kepalanya kepada orang lain. Dengan cara ini pengetahuan dapat berkembang dan dilestarikan. Sesuatu yang terkadang dianggap sepele oleh masyarakat kita dengan mengganggap menulis hanyalah sebuah aktivitas sehari-hari yang sederhana. Padahal menulis menyimpan amat banyak manfaat yang dikandungnya.
Apa yang bisa kita lakukan untuk memindahkan pengetahuan dan ilmu yang kita miliki ke orang lain selain menulis dan berbicara. Hanya dengan dua sarana inilah manusia sepanjang peradaban melakukan pelestarian ilmu dan pengembangan ilmu dari zaman ke zaman. Sayangnya sarana berbicara dalam orasi maupun ceramah tidak dapat bertahan lama karena sifatnya yang bisa didengar hanya saat itu walaupun kini dengan kemajuan teknologi, bentuk-bentuk penyaluran ilmu dalam bentuk suara sudah bisa direkam tetapi itu tidak pernah bisa menggantikan peran tulisan dalam perkembangan keilmuan. Tulisan memiliki sifat yang dapat diakses kapan pun dan bersifat abadi. Melalui tulisan pun pemikiran-pemikiran orang besar masih dapat kita baca dan pelajari di masa sekarang karena pemikiran-pemikiran tersebut diabadikan dalam  bentuk tulisan yang bersifat abstraksi.
Sesuatu yang tidak bisa terlepas dari aktivitas menulis adalah membaca. Seorang penulis atau mereka yang menuliskan gagasan-gagasan besarnya sudah pasti adalah seorang pembaca yang rakus. Membaca adalah saudara kembar menulis. Aktivitasnya sangat beriringan dan seperti dua sisi mata uang yang sifatnya saling melengkapi. Bagaimana tidak, kedua komponen ini saling membutuhkan satu sama lain untuk memperkuat eksistensi dan hakikatnya. Bagaimana mungkin seorang penulis yang tidak banyak membaca. Konten yang ditulisnya hanyalah sebuah opini pribadi yang tidak memiliki dasar dan cenderung pandangan subjektif yang apriori dan. Khazanah pengetahuannya tidak diperlebar dengan membaca sehingga konten yang ditulisnya “kering” makna. Begitu pula jika seseorang yang banyak sekali membaca tanpa melakukan aktivitas menuliskan pengetahuan, pandangan dan ilmu yang dia miliki. Semua makna dan hakikat ilmu itu akan tersimpan dalam kepalanya tanpa perpindahan manfaat dan hakikat ilmu. Ilmu hakikatnya harus banyak disebarkan agar bermanfaat untuk kehidupan orang lain dan bahkan umat. Ilmu disebarkan dengan banyak menuliskan pengetahuan yang kita miliki tersebut. Sehingga orang lain dapat menyerap pelajaran darinya dan menerapkannya untuk kehidupannya dan untuk masyarakat di sekitarnya. Keseimbangan antara aktivitas membaca dan menulis akan mengantarkan pribadi menuju keselarasan peran dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan dunia literasi.
Begitu banyak tokoh besar terlepas dari ideologi yang digagasnya adalah seorang yang amat gila membaca dan seorang penulis yang baik. Sebut saja tokoh besar seperti Mahatma Gandhi, Ibnu Sina, Karl Marx, Voltaire, Moh. Hatta, Hasan Al Bana, BJ Habibie terlepas dari apa yang digagas dari pemikirannya, mereka adalah seorang yang gila membaca. Disebutkan dalam biografi mereka kesukaan mereka dalam menghabiskan waktu kesehariannya untuk membaca dan terus membaca. Lalu bagaimana mereka bisa mempengaruhi banyak orang sehingga menjadi tokoh besar yang dikenang jika mereka tidak memiliki kemampuan menulis yang baik. Mereka semua beserta banyak tokoh yang tidak disebutkan di sini adalah para penulis handal yang karyanya dapat mempengaruhi banyak orang dan membentuk pikiran banyak orang sehingga tak jarang tokoh besar melalui tulisan karyanya ia bisa menggerakan banyak orang melalui sebuah pergerakan yang bisa menggulingkan pemerintahan atau membuat ideologi dasar suatu pemerintahan. Semua itu dicapai hanya dengan menuliskan pemikirannya. Sehingga tidak berlebihan jika ada pepatah yang mengatakan “Mata pena lebih tajam daripada pedang.” Kurang lebih seperti itu pepatah tersebut.
Renungan kecil tentang manfaat besar membaca dan menulis ini mungkin tidak akan membawa manfaat ketika dilakukan dalam kapasitas seorang diri. Tanpa ada sebuah gerakan bersama membentuk kesadaran akan pentingnya dua hal sederhana dalam keseharian kita. Apapun kapasitas dan peran kita dalam masyarakat kedua elemen ini tidak boleh terlepas bahkan terabaikan. Meminjam istilah penulis favorit saya Gol A Gong dalam bukunya “Gempa Literasi”, Seseorang yang bergelut dalam dunia baca tulis dan menularkan semangat ini pada orang lain disebut pejuang literasi. Mungkin istilah itu yang tepat untuk menggambarkan peran ini. kenapa menjadi pejuang literasi menjadi penting dalam setiap ranah kehidupan, apapun kapasitas kita dan keahlian kita, aktivitas membaca dan menulis tidak boleh terabaikan ? Karena budaya literasi adalah sebuah “ruh” penggerak dan yang mengiringi setiap jengkal kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Mari kita telusuri dalam banyak aspek kehidupan. kemajuan yang terjadi di dalamnya tidak bisa lepas dari pengaruh kemajuan literasi. Dalam dunia medis, terobosan dalam metode pengobatan terjadi karena kemajuan ilmu dan teknologi. Kemajuan ini tidak lepas dari peran literasi yang mendokumentasikan tiap jengkal kemajuan keilmuan dalam sebuah jurnal yang dapat dipelajari oleh generasi penerusnya dan dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan keilmuan. Tentu hal seperti ini juga dengan mudah kita temukan contoh dalam bidang keilmuan yang lain.
Menulis berarti menciptakan sesuatu, bisa berupa novel yang bersifat fiksi ataupun karya ilmiah yang non-fiksi. Menulis artinya membuat hidup kita produktif. Karena kita bisa menghasilkan sebuah karya yang dibaca oleh orang lain.
Menjadi produktif dengan menulis kenapa menulis disebut aktivitas yang produktif, padahal dengan menulis kita tidak menghasilkan sebuah produk fisik dalam arti yang sesungguhnya. Tetapi kenapa menulis tetap disebut aktivitas yang produktif?
Jika kita hanya mengartikan "produktif" sebagai sebuah bentuk kegiatan yang menghasilkan benda nyata dan mengaitkannya dengan sayamulasi benda nyata tersebut. Menulis akan membuat kertas tetap menjadi kertas secara konteks fisik tetapi tidak dalam konteks makna. Tetapi jika kita menggeser paradigma benda fisik tersebut dalam kaitannya dengan kata produktif dengan menjadi paradigma manfaat dan nilai guna dalam masyarakat, maka tak heran dan sangat meyakinkan bahwa menulis adalah aktivitas yang produktif. Bahkan sangat produktif. Ditinjau dari segi production cost atau "biaya produksi".
Menulis dengan nalarnya, manusia bisa menghasilkan sebuah penuangan kapasitas intelektual, pengalaman, dan seni pribadi manusia tersebut ke dalam sebuah bentuk karya yang bisa secara universal dibaca, didengar, diapresiasi, dikritisi bahkan dimanfaatkan kontennya dalam rangka perkembangan peradaban manusia dalam konteks luas. Dengan tulisannya manusia memproduksi kekayaan intelektual. Sebuah sumbangsih yang bisa dilsayakan oleh tiap manusia bahkan jika mereka tidak memiliki apapun.
Dengan tulisan, manusia mampu memobilisasi minat, inspirasi, gagasan dan harapan orang lain sesuai dengan konten yang ditulisnya. Maksudnya dengan tulisan, manusia bisa mempengaruhi orang untuk berpikir, bersikap dan bertindak tanpa harus bertemu dan bertatap muka. Bukankah itu adalah hal yang menakjubkan?  Dan bukankah jika ide dan pemikiran tersebut menggerakkan ribuan bahkan jutaan orang untuk bersikap dan bertindak menuju ke hal yang positif dan membawa manfaat adalah merupakan hsl ysng produktif.
Jika boleh berandai-andai, seorang motivator pengembangan diri yang menulis tentang etos kerja yang baik dan motivasi dalam melsayakan pekerjaan terbaik yang diberikan oleh karyawan akan mempengaruhi banyak orang untuk memiliki semangat kerja dan berkarya secara masif dan luas yang tentunya resultan dari fenomena ini adalah perkembangan produktifitas dalam berbagai dimensi kehidupan salah satunya yang paling jelas adalah perkembangan ekonomi.
Dari fenomena kecil tersebut, terlihat salah satu contoh betapa produktifnya aktivitas menulis. Produktifitas tersebut akan lebih signifikan ketika banyak orang yang menulis dan berkontribusi dalam bidangnya masing-masing untuk perkembangan peradaban. Saya menggunakan istilah peradaban untuk mewakili kompleksitas dimensi aspek kehidupan manusia yang dapat dengan signifikan dipengaruhi oleh keberdaan tulisan-tulisan.oleh karena itu saya menggantinya dengan kata "peradaban". Terlihat ciri berpikir induktif sekilas.
Ternyata itu bukan hanya terjadi pada bidang ekonomi seperti yang sudah dibahas. Hal ini juga berlsaya di bidang kehidupan yang lain. Dengan kata lain penbaruhnya signifikan untuk peradaban. Mungkin hal ini terlalu abstrak dan umum. Tetapi saya disini tidak bermaksud untuk membahas hal yang detil dan teknis tetapi cukup di tataran kontekstual saja. Maafkan kekurangan pemahaman saya ini.
Sebagai penutup dan ingin juga disampaikan di sini  adalah fakta bahwa menulis juga mencerdaskan. Karen Amstrong dalam bukunya yang berjudul Compassion menyatakan menulis juga mencerdaskan. Kenyataannya memang begitu, setidaknya ada dua kecerdasan yang terlatjh dengan aktivitas menulis menurut Karen Amstrong yaitu kecerdasan intapersonal danl linguistik. Ya, kombinasi kecerdasan fundamental manusia yang bersifat ekspresif dan kontemplatif.



Friday, May 31, 2013

Sepercik Inspirasi dari kang Hermawan Aksan

Oleh : Hendiperdana
Ayo dong kita menulis cerpen!” Seolah-olah itu yang keluar dari mulut buku ini  jika dia bisa berbicara. Menulis cerpen dapat menjadi jalan awal atau batu loncatan bagiku untuk menapaki karya-karya lainnya. Karena sampai sejauh ini karya cerpen masih dinilai karya yang paling “mudah” untuk dibuat dibanding karya-karya lainnya. Oleh karena itu dalam rangka usahaku menjadi seorang penulis yang baik, cerpen akan menjadi pilihan saya untuk memulai berkarya. Semoga tetap istiqamah, konsisten dan kuat untu terus berkarya.

Hari ini aku meminjam buku dari perpustakaan daerah Jawa Barat, kebetulan perpus ini letaknya tak jauh dari rumahku. Hanya beberapa meter saja. Beruntungnya aku. Perpustakaan sebesar ini dan koleksi bukunya yang amat banyak dan lengkap berjarak hanya beberapa langkah dari rumahku. Buku yang kupinjam itu berjudul Proses Kreatif Menulis Cerpen karya Hermawan Aksan. Aku sangat berterima kasih pada pengarangnya karena melalui karyanya dia memompakan semangat baru untuk terus berkarya dalam menulis ke jiwaku.

Apa yang mau ditulis dalam hamparan kertas putih kosong tanpa goresan? Bagaimana caranya menyulap kertas kosong yang tanpa makna menjadi goresan-goresan tulisan yang mengandung banyak makna tergantung yang menafsirkan.

Baiklah, kita akan mulai segala aktivitas menulis ini dengan mencoba membuat karya cerpen. Sebelumnya apa cerpen itu? Dalam buku karya Hermawan Aksan yang disebut di atas, perbedaan yang mencolok antara cerpen dan novel adalah terletak pada sorotan konfliknya. Kalau cerpen tokoh sentralnya hanya satu dan alur konfliknya juga satu. Novel memiliki alur yang lebih kompleks dalam ceritanya dan tokohnya lebih banyak yang mengisi alur dalam sebuah cerita, bisa saling bersinggungan satu sama lain dalam salah satu bagian cerita. Intinya cerpen lebih sederhana dalam penggambaran alurnya.

Menurut buku Hermawan Aksan (yang menjadi pengetahuan baru untukku) sebuah cerpen yang baik hanya membutuhkan tiga unsur di dalamnya ( bukan struktur). Unsur itu adalah tema, alur dan karakterisasi tokoh.
Kalau masalah tema beliau menyarankan sebuah cerita pendek harus memiliki sebuah tema utama yang menggambarkan keseluruhan isi cerpen itu. Nah, kalau sebuah cerpen temanya tidak jelas, itu sama saja dengan berjalan di kegelapan tanpa tahu arah dan tujuannya, Kata Hermawan Aksan. Betul juga, setelah kubaca beberapa contoh cerpen dalam buku karyanya itu, memang cerpen-cerpen itu masing-masing memiliki tema atau “ruh” yang ingin disampaikan melalui alur cerita dan karakter tokoh-tokohnya. Kebanyakan temanya berkisar antara kebijaksanaan hidup, pelajaran hidup, dan isu sensitif sosial kemasyarakatan. Penyampaian melalui cerita ini tidak berkesan menggurui walaupun inti yang ingin disampaikan sebenarnya adalah sebuah “pelajaran”.

Lalu bagaimana dengan alur? Tentu saja alur adalah unsur yang tidak kalah pentingnya. Bagaimana cerita ini bisa memberikan penggambaran logis dan kronologis kalau tidak memiliki alur di dalamnya. Untuk alur cerita nampaknya pasti kita semua sudah mengerti pentingnya unsur tersebut dalam sebuah cerita terutama cerita pendek.

Unsur terakhir yang ada dalam sebuah cerita adalah karakterisasi tokoh di dalamnya. Setelah kurenungkan lebih dalam (walau aku sama sekali tidak memiliki latar belakang sastra sama sekali, tapi aku sering membaca karya fiksi) ternyata karya-karya fiksi yang telah kubaca adalah karya-karya sang pengarang yang membuat karakterisasi tokohnya amat terasa. Deskripsinya begitu jelas dan seolah dia nyata. Maka tak heran beberapa karya fiksi besar yang telah kubaca membuat seolah aku “mengenal” tokoh-tokoh di dalamnya. Tentunya ini karena deskripsi karakter yang amat baik dari pengarangnya. Semisal dalam novel thriller Tunnel Karya Roderick Gordon dan Brian Williams yang membuat seolah-olah saya mengenal sosok Will Burrow remaja yang penuh dengan rasa penasaran dan selalu melampiaskan rasa penasarannya dengan penggalian dan penjelajahan ke bawah tanah untuk menemukan ayahnya. Karakternya baik fisik dan sifatnya amat jelas digambarkan oleh penulisnya. Sehingga tidak berlebihan ketika membacanya, Will seperti sedang berbincang dengan kita atau setidaknya aku melihatnya secara langsung.

Untuk masalah karakterisasi tokoh dalam sebuah cerita, rasanya belum lengkap kalau kita tidak membahas novel The House of Spirit karya Isabel Allende. Sungguh, walaupun sudah sekitar 6 bulan yang lalu aku menyelesaikan membaca novel ini, tetapi tokoh Clara yang ada di novel ini masih sangat jelas di ingatanku. Karakterisasinya yang kuat seolah Clara hadir dan menemani keseharian kita dengan karakter yang digambarkan oleh penulisnya atau mungkin sebaliknya seolah aku yang selalu hadir di sana saat tokoh Clara sedang menjalankan perannya dalam cerita itu. Sejauh ini Clara masih menjadi karakterisasi tokoh yang terbaik menurutku. Tentu saja akan berbeda tiap penilaian orang.

Begitulah kekuatan karakterisasi tokoh dalam sebuah cerita. Dia akan memperkuat isi cerita, membuat nyata jalan cerita, mewarnai konflik yang ada, dan lebih hebatnya lagi ketika penulisnya membuat kita “mengenal” secara pribadi tokoh yang ada di dalamnya.

Pembahasan ini sama sekali masih jauh dari kata baik. Tapi ini setidaknya yang bisa kugambarkan dalam semangat dan inspirasi baru yang kudapat setelah membaca karya Hermawan Aksan ini yaitu Proses Kreatif Menulis Cerpen. Semoga aku tidak hanya membaca bukunya dan kemudian melupakan ide-ide dan kiat yang ada di dalamnya, tetapi juga berkarya dan terus berkarya.

Terima kasih kang Hermawan Aksan

Saturday, May 25, 2013

Suatu Hari di Kedalaman Bawah Sadarmu

Dewan jiwa.
Apa kabar dewan jiwa. Apakah rapat perkumpulan para dewan jiwa masih menjadi agenda rutin dalam bawah sadar ini. Apakah kalian semua masih terus saling berusaha saling mempengaruhi satu sama lain. Saling berebut pengaruh untuk menentukan jalan kehidupan jiwa ini.
Oh dewan jiwa ulah kalian telah menimbulkan dinamika yang tidak sedikit. Segalanya kutautkan pada sikap kalian, pada empati kalian dan tentu saja pada etika kalian. Jangan menyerobot, sesungguhnya menyerobot adalah perbuatan orang tidak sabar. 
“Perkataan ini dialamatkan untukmu hei dewan emosi ! Jangan pura-pura tidak melihat padaku!!”
"Hei, lihat kesini. Akibat ulahmu aku banyak menhancurkan hariku hanya karena masalah kecil. Tidak jarang orang menjadi tidak simpati padaku karena kalian dewan emosi yang tidak beretika dalam berebut pengaruh."
“Tapi kami hanya melakukan apa yang seharusnya kami lakukan, dan salah kamu sendiri kenapa masih mengundang kami dalam perkumpulan ini.” Tegas salah seorang dari dewan emosi. “Ini bentuk naluriah kami” tambah seorang rekan dari dewan emosi.
Seorang petinggi dewan Akal geram mendengarnya dan sudah tidak sabar untuk berkomentar.
“Sebentar, aku hanya ingin mengatakan. Anehnya mengapa saat para dewan emosi ini menyampaikan pendapatnya mulut kami seolah tersumpal benda padat yang keras yang menghalangi kami untuk ikut bicara?” “Kami hanya ingin kamu tahu, mungkin dewan emosi ini berlaku curang untuk membungkam dewan akal sehat sehingga kami sering kali kalah oleh dewan emosi.” Lengkaplah sudah semua hal yang terpendam diucapkan.
“Apa istimewanya mereka, padahal semua fondasi keberhasilanmu ditopang oleh sebagian besar dewan Akal mungkin juga peran lain dari dewan perenungan. Tapi kenapa kamu selalu lebih mendengarkan dewan emosi. Kami menyerah, kami tak sanggup lagi untuk hanya menjadi boneka bisu dalam bawah sadar ini. kami tak punya pengaruh apa-apa jika kamu terus mendengarkan dewan emosi”. Tegas sang petinggi dewan akal nampaknya mulai memperlihatkan rasa menyerah.
Apakah lebih baik keluarnya dewan Akal bisa digantikan perannya dengan dewan Nafsu. Nampaknya kalian akan lebih cocok dan saling melengkapi. Ujarku pada para dewan.
Akhirnya salah seorang dewan Akal yang sedari tadi diam mulai berkata. “Silahkan saja jika kamu ingin mereduksi makna manusia seperti apa yang telah dilakukan Charles Darwin.”
“Silahkan saja, karena si Darwin itu mungkin tidak mengetahui bahwa mahluk-makhluk yang diceritakan dalam teorinya tidak memiliki kami dalam kepalanya”.


Oleh                     : Hendiperdana
Sumber gambar : http://www.thehamiltonian.net/2011/11/perspectives-virtual-panel-on-this.html