Sunday, February 14, 2016

Fenomena Ojek Online dan Bangkitnya Pelayanan Publik Berbasis Informatika


Oleh : dr. M. Rizky Hendiperdana



Boleh dibilang tahun 2015 adalah tahunnya ojek berbasis daring. Pada tahun ini tren masyarakat mulai banyak menggunakan moda transportasi berbasing daring ini karena sifatnya yang praktis dan cepat. Tahun 2015 juga fenomena ini mulai menggejala di masyarakat, kita lihat jalanan di ibukota dan kota-kota besar lainnya yang dipenuhi oleh warna-warna atribut milik perusahaan ojek berbasis daring tersebut. Mulai dari yang berwarna hijau, hijau kehitaman, kuning, dll. Pemandangan seperti ini menjadi hal biasa dalam keseharian lalu lintas di ibukota sehingga sudah menjadi warna tersendiri, terlebih lagi saat jam-jam sibuk seperti waktu berangkat ke kantor dan waktu pulang kantor. Jalanan dipenuhi oleh atribut-atribut karakteristik perusahaan ojek berbasis daring tersebut, seperti helm, jaket, serta atribut lain.
Penulis juga salah satu pengguna yang cukup sering menggunakan jasa salah satu ojek berbasis daring ini. Bisa disebut pengalaman pribadi menunjukkan inovasi ini sangat membantu dalam banyak hal. Ojek berbasis daring menawarkan solusi transportasi yang sebelumnya ruwet, dan tidak praktis menjadi hal yang bisa dipesan di ujung jari dimana pun kita berada dengan daya akses yang cukup jauh. Semua ini hanya ada berkat sebuah gagasan inovasi yang memberdayakan sistem informasi untuk menjadi penengah atau penghubung antara calon penumpang dan pengemudi. Penulis melihat kedua aspek ini tidak mengalami banyak perubahan sebelum dan sesudah mode ojek berbasis daring ini mencuat. Calon penumpang tetap banyak dan pengemudi motor yang siap mengantar pun juga memiliki jumlah yang banyak. Hanya saja sebelum fenomena ojek berbasis daring ini muncul ke masyarakat, kedua kelompok masyarakat tersebut tidak memiliki penghubung. Di sini sistem teknologi informasi menjadi semacam primadona yang membuat kedua hal yang biasa tersebut menjadi lahan bisnis baru dan mata pencaharian bagi ribuan orang.
Menarik di sini, ternyata fenomena ojek berbasis daring ini tidak terbatas pada nilai kegunaan transportasinya saja, tetapi menyetuh aspek yang lebih jauh lagi dari itu. Entah disadari atau tidak kini publik mulai memberikan respon positif dalam pelayanan berbasis daring ini, terbukti dari marak dan tingginya angka penggunaan jasa tersebut di tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan dibuatnya komedi situasi yang berlatar belakang cerita ojek berbasis daring tersebut di NET TV dengan tajuk OK-JEK. Fenomena ini penulis amati mulai menggejala di masyarakat atau publik. Ada semacam “semangat zaman” yang ingin menularkan efisiensi sistem informasi tersebut ke ranah pelayanan publik. Sesuatu yang penulis amati semangat zaman ini juga mengalir ke pelayanan publik, khususnya dalam bidang kesehatan.
Beberapa rumah sakit swasta dan penyedia layanan kesehatan mulai mengembangkan prototipe jenis layanan yang merupakan sinergi pelayanan kesehatan dan sistem informasi yang efektif dan efisien. Antara lain penyedia layanan kesehatan yang mulai menggarap kerjasama dengan perusahaan ojek berbasis daring untuk menyediakan pelayanan kurir dalam bidang kesehatan. Walaupun bentuk dan jenis pelayanannya masih belum terdefinisikan, tetapi upaya ke arah sana mulai dijajaki. Perusahaan pengembang aplikasi smartphone mengembangkan aplikasi yang bernama Linkdokter.com. Aplikasi ini berperan sebagai mediator atau penghubung calon pasien dengan dokter dalam ranah konsultasi via telepon. Aplikasi ini akan menampilkan nama beberapa dokter yang terdaftar untuk dapat dihubungi guna berkonsultasi masalah terkait kesehatan. Walaupun aplikasi ini belum diresmikan, namun semangat optimalisasi sistem teknologi dan informasi untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam bidang kesehatan terasa dalam upaya ini.
Senada dengan fenomena tersebut, pada tanggal 3 Februari 2016 diadakan seminar  nasional dengan tajuk “ Kebijakan, Implementasi dan Kendala dalam Pelaksanaan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Pra- Rumah Sakit” yang diselenggarakan oleh Indonesia Healthcare Forum. Seminar yang dibuka oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia ini membahas pentingnya penanganan kegawatdaruratan medis pra-rumah sakit. Yaitu pengananan kegawatdaruratan medis yang dilakukan di luar rumah sakit lebih tepatnya di tempat kejadian oleh yang pertama menemukan korban/pasien sebelum pasien diantar ke rumah sakit/ fasilitas pelayanan kesehatan. Fase pra-rumah sakit merupakan komponen yang tidak kalah pentingnya dengan penanganan di rumah sakit dalam mata rantai upaya menyelamatkan nyawa pasien yang menderita kegawatdaruratan medik.
Mengingat pentingnya aspek ini, maka seluruh pemangku kebijakan terkait seperti Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, para direktur rumah sakit, kepolisian, pemadam kebakaran, dan akademisi duduk bersama dalam forum ini. Seluruh pihak tersebut adalah lingkaran besar pihak yang terlibat dalam sistem terpadu penanganan kegawatdaruratan pra-rumah sakit. Yang menjadi isu utama dalam seminar ini adalah bagaimana sistem informasi dapat menyokong suskesnya upaya ini. Kementerian kesehatan sebagai koordinator utama mulai menggagas dibentuknya NCC (national command center) dengan nomor telepon 119 sebagai panggilan darurat seperti 911 milik Amerika Serikat. Selain NCC yang letaknya di pusat yaitu gedung Kementrian Kesehatan lantai 9, presiden melalui Instruksi Presiden No.4 tahun 2013 menginstruksikan setiap pemerintah kabupaten/kota membentuk PSC ( public safety center) sebagai perpanjangan tangan NCC di daerah yang bertugas langsung menangani dan mengkoordinasikan layanan kegawatdaruratan masyarakat di lapangan. Saat ini sudah ada beberapa kota yang memiliki PSC seperti kabupaten Boyolali, Tulungagung dan Salatiga serta beberapa daerah lainnya.
Kedepannya, beberapa PSC di tiap daerah kabupaten/kota akan terhubung langsung ke pusat NCC. Sehingga seluruh warga negara Republik Indonesia yang menghadapi masalah kegawatdaruratan hanya menghubungi call center 119 kemudian akan dihubungan dengan PSC masing-masing. Tentunya hal ini masih dalam tahap pengembangan. Masyarakat berharap perbaikan pelayanan publik akan terus mengalami perbaikan ke arah yang lebih baik. Dalam salah satu pemaparannya dr.Budi Sylvana,MARS selaku kepala Subdirektorat Pelayanan Gawat Darurat Terpadu Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, beberapa kali mengambil inspirasi dari ojek berbasis daring sebagai perbandingan pelayanan cepat tanggap dan efektif dalam hitungan waktu yang cepat. Sehingga diharapkan para petugas terdepan dalam penanggulangan kegawatdaruratan terpadu dapat mengadopsi cara dan metode mereka bekerja. Entah suatu kebetulan atau bukan, fenomena daring yang menular ke ranah publik ini beriringan dengan semakin naik daunnya ojek berbasis daring. Bagaimana pun masyarakat berharap semua fenomena ini menghasilkan imbas yang positif untuk pelayanan publik ke depan khususnya dalam bidang penanggulangan kegawatdaruratan pra-rumah sakit karena memang masyarakat yang akan menikmati manfaat dari keberhasilan program ini.


Sumber Gambar 1  : 
http://bisnisojek.com/wp-content/uploads/2015/05/gojek-blujek-grabbike-small.jpg

Sumber Gambar 2   :
Dokumentasi Pribadi

Sunday, February 07, 2016

Gagal Jantung, Cukup Andalkan Dokter Saja Kah ?

Oleh : Dr. M. Rizky Hendiperdana

Jika berbicara masalah gagal jantung, yang terbayang di pikiran orang yang mendengarnya pasti suatu kondisi menakutkan yang dapat mengancam jiwa. Memang seperti itu keadaannya. Gagal jantung/ heart failure adalah suatu kondisi ketidakmampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi yang paling sering menyebabkan gagal jantung adalah penyakit jantung koroner dan penyakit darah tinggi (hipertensi) lama. 

Gagal jantung akut akan menyebabkan pasien atau keluarga pasien mencari pertolongan medis, biasanya ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) karena kondisi pasien biasanya berat. Pasien akan mengalami gejala yang membuatnya takut, cemas, perasaan seperti tenggelam, dll. Jarang sekali kondisi gagal jantung muncul dengan kondisi yang ringan. Biasanya pasien datang dengan kondisi yang terlambat dan cukup berat.

Gejala yang paling sering dan klasik dari masalah gagal jantung adalah sesak napas berat, sesak saat beraktifitas fisik, mudah lelah, sesak saat posisi berbaring dan bengkak-bengkak di seluruh tubuh (biasanya diawali di bagian telapak kaki). Pasien yang datang dengan kondisi tersebut disertai dengan riwayat masalah jantung yang diidap dan beberapa pemeriksaan diagnostik tambahan seperti rekam jantung (elektrokardiografi) dan foto rontgen dada yang mengarah, sudah dapat didiagnosa bahwa pasien memiliki masalah gagal jantung akut.

Kemajuan teknologi di bidang kedokteran sangat membantu dalam aspek diagnosa maupun pengobatan gagal jantung akut di sarana kesehatan. Metode diagnostik dengan alat yang canggih seperti echocardiography (USG jantung), MRI jantung, MSCT, pencitraan nuklir disertai perkembangan obat-obatan yang sangat mutakhir tentu amat mudah dalam menemukan dan menangani masalah gagal jantung di sarana kesehatan. Pasien yang datang dengan gagal jantung asalkan datang ke sarana kesehatan tidak terlambat, kemungkinan besar pasien akan dapat ditangani dengan perkembangan obat-obatan yang amat pesat. 

Menjadi masalah kemudian dalam tataran praktik klinis menghadapi penyakit gagal jantung ini. Masalah tersebut adalah kurangnya aspek follow up atau surveillance pasien-pasien yang mengalami gagal jantung saat mengalami rawat jalan. Kemudian dari aspek pasien kurangnya kepatuhan dalam menjalankan pengobatan gagal jantung yang disarankan oleh dokter karena sudah tidak merasakan gejala, maka pasien serta merta menghentikan protokol terapi yang dianjurkan oleh dokter. Sehingga masalah utama dalam penanganan komprehensif masalah gagal jantung di masyarakat adalah aspek follow up dari sisi dokter/ tenaga kesehatan dan aspek kepatuhan / compliance dari sisi pasien. Kedua aspek tersebut merupakan pilar utama dalam penanganan tuntas penyakit gagal jantung di masyarakat disamping perawatan di rumah sakit. 

Gagal jantung memiliki suatu keunikan dibanding penyakit-penyakit umum yang sering ditemui di masyarakat. Berbeda dengan masalah demam, infeksi, radang usus buntu, diare yang mana penanganan dan perawatannya cukup sekali kontak dan masalah itu akan tuntas dari tubuh pasien. Tinggal bagaimana pasien menjaga kesehatan dan mencegah penyakit tersebut agar tidak menimpanya lagi. Gagal jantung memasukkan penderitanya ke dalam kondisi tak terhindarkan dari perburukan progresif fungsi jantung sepanjang waktu, jika kondisi tersebut tidak ditangangani. Salah satu strategi untuk menanganinya adalah pasien harus mengkonsumsi obat-obatan secara rutin. 

Tujuan dari obat tersebut adalah pertama untuk mencegah munculnya gejala pada pasien, dan kedua untuk mencegah perburukan progresif pada pasien gagal jantung. Oleh karena itu tidak cukup hanya mengandalkan peran dokter di rumah sakit untuk menuntaskan masalah gagal jantung ini. Perlu dua pilar strategi yang dikemukakan di awal yaitu aspek follow up dari dokter dan kepatuhan/ compliance dari pasien. 

Ketika masalah gagal jantung telah teratasi dengan pengobatan di rumah sakit, justru disitulah titik penting dalam penanganan lanjut masalah gagal jantung pasien. Saat kondisi pasien membaik dan direncanakan rawat jalan untuk pengobatan di rumah, pada saat itu kerjasama multi-disiplin memainkan peran penting dalam pengobatan pasien selanjutnya. Dalam menangani pasien yang sudah jatuh dalam kondisi gagal jantung, tidak bisa hanya mengandalkan pengobatan yang dilakukan di rumah sakit karena perawatan komprehensif terhadap pasien dengan gagal jantung dibagi menjadi dua fase yaitu fase rawat inap/ inpatient management dan fase rawat jalan/ outpatient managemet. Apa yang pasien dan keluarga pasien di rumah lakukan untuk pengobatan pasien menjadi hal yang amat penting dalam fase rawat jalan/ outpatient management. 

Beberapa hal penting yang direkomendasikan dalam strategi penanganan pasien rawat jalan pada pasien dengan gagal jantung adalah mengkonsumsi obat rutin seperti yang disebut di awal walaupun pasien sudah tidak mengeluhkan adanya gejala, edukasi dan penyuluhan pada pasien dan keluarganya terkait pembatasan asupan cairan (asupan cairan yang direkomendasikan maksimal 2 liter per hari), pembatasan asupan garam (makanan yang asin-asin) dengan batas maksimal 2 gram per-hari karena natrium pada garam dapat meningkatkan volume cairan pada tubuh yang akan membebani jantung yang sedang dalam masalah, pengukuran berat badan harian juga menjadi agenda rutin untuk memantau peningkatan berat badan akibat penambahan beban cairan pada gagal jantung, terakhir dan tidak kalah penting adalah identifikasi dosis obat diuresis (furosemide) yang sesuai target agar terapi obat dapat tercapai secara optimal. 

Sekarang kita memandang masalah gagal jantung bukan lagi masalah perawatan di rumah sakit yang kadang pasien datang dalam kondisi emergensi dan kritis. Ketika pasien sudah melewati fase kritis inilah semua pihak mulai dapat berperan. Kedua pilar tersebut yang menjadi penjaga utama agar pasien-pasien gagal jantung tidak memiliki angka kekambuhan yang tinggi ke IGD. Kedua pilar tersebut adalah follow up yang berada di pihak tenaga kesehatan yang memberikan kontrol pasien secara rutin dan kepatuhan/ compliance pasien dan keluarganya dalam melaksanakan strategi perawatan outpatient seperti yang disebut di awal. 

Mengharapkan kesembuhan total atau dalam kata lain kembali seperti keadaan semula seperti saat pasien belum mengalami gagal jantung nampaknya merupakan suatu hal yang sulit atau bahkan mustahil. Target dari strategi penanganan komprehensif dari pasien yang mengalami gagal jantung bukan mengembalikan keadaan seperti sebelum mengalami gagal jantung atau yang sering orang sebut “sembuh total” tetapi tujuannya adalah mengurangi angka hospitalisasi/ hospitalization rate (pasien dirawat di RS karena gejala gagal jantung akut) dan meningkatkan kualitas hidup pasien / quality of life (QoL). Kedua aspek inilah yang menjadi target utama dari strategi penanganan pasien dengan gagal jantung. Dimana dengan mengurangi angka perawatan pasien dengan gagal jantung akan sangat jarang mengalami kekambuhan sehingga harus dirawat di RS yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu pasien dengan penurunan fungsi jantung yang ditangani dengan strategi yang baik akan tetap dapat menikmati hidup dengan gejala yang minimal dan tetap dapat berfungsi di masyarakat sesuai perannya. Setidaknya pasien tersebut memiliki kemandirian dan tidak bergantung pada orang lain, oleh sebab itu kualitas hidup/ QoL pasien tetap baik bahkan meningkat.

Referensi: 

  • Rilantono L. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular. Edisi pertama. BP FKUI; 2015
  •  Zannad F. How to Judge Disease Severity, Clinical Status and Severity. In : William T. Abraham, Henry Krum, editors. Heart Failure A Practical Approach to Treatment. 1st Mc-Graw Hill; 2007. p. 53-66. 
  • Cody R. Diuretics and Newer Therapies for Sodium and Edema Management in Acute Decompesanted Heart Failure. In : Allen Jeremias, editors. Cardiac Intensive Care. 2nd ed. Elsevier Saunders; 2010. P.479-487.

Sumber Gambar :  http://img.webmd.com/dtmcms/live/webmd/consumer_assets/site_images/article_thumbnails/slideshows/heart_disease_overview/493x335_heart_disease_overview.jpg

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hendiperdana/gagal-jantung-cukup-andalkan-dokter-saja-kah_56281d2943afbd8f0bec9dd0